Seribu obor dari botol bekas minuman menyala di sepanjang jalan menyambut kedatangan Sultan Hamengku Buwono X di Tebing Breksi. Asap hitam pekat mengepul dari obor-obor itu, menjadi satu-satunya sumber penerangan di jalur rusak yang setiap hari dilalui truk-truk tambang.
Beberapa ratus meter sebelum tiba di lokasi, mobil yang ditumpangi Sultan dan rombongan berhenti. Sultan turun, lalu melanjutkan perjalanan dengan gerobak sapi.
Peristiwa itu terjadi pada 30 Mei 2015, sepuluh tahun lalu, saat Sultan pertama kali menginjakkan kaki di Breksi untuk meresmikannya sebagai destinasi wisata. Di gerobak itu, Sultan tidak sendiri. Duduk di sampingnya, Sri Purnomo, yang saat itu masih menjabat Bupati Sleman.
Momen tersebut masih jelas terekam dalam ingatan Aria Nugrahadi, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bidang Pengembangan Destinasi di Dinas Pariwisata DIY.
“Itu semua ada tujuannya,” kata Aria, mengenang peristiwa tersebut saat ditemui Pandangan Jogja di kantornya sekarang, Disnakertrans DIY, Jumat (16/5).
Gerobak sapi memang sengaja disiapkan untuk menyambut kedatangan Sultan. Bukan sekadar seremoni, tapi juga sebagai cara memperlihatkan langsung kondisi jalan menuju Breksi yang rusak parah.
“Di situ Pak Gubernur (Sultan) bilang ke Pak Bupati. Aku bantu sini lho, Pak Bupati, jalannya (diperbaiki) Pak Bupati ya,” lanjutnya.
“Karena akses jalan itu salah satu syarat paling penting bagi destinasi wisata. Destinasinya mau sebagus apapun kalau jalannya rusak orang pasti malas untuk datang,” ujar Aria.
“Tak Mungkin Seorang Raja Mau Datang ke Desa Kami”
Awalnya, warga tak percaya Sultan akan datang ke desa mereka. Desa yang tandus, miskin, dengan akses jalan yang rusak, rasanya mustahil menarik kedatangan seorang raja.
“Kami juga sangat sangsi kalau enggak mungkin sekelas Gubernur, apalagi Raja kok mau sampai sini,” kata Kholik Widianto, mantan penambang yang kini menjadi Ketua Pengelola Wisata Tebing Breksi, ditemui Pandangan Jogja, Sabtu (17/5).
Kholik adalah salah satu tokoh yang dulu menolak rencana menjadikan Breksi sebagai kawasan wisata. Ia ingin Breksi tetap menjadi kawasan tambang seperti selama puluhan tahun sebelumnya. Namun, kabar kedatangan Sultan mengubah banyak hal.
“Nah, untuk itu kami semangat, bagaimana nanti menyambut beliau dengan keadaan walaupun jalan yang masih jelek,” lanjutnya.
Kholik lalu menggerakkan para pemuda desa untuk membuat lebih dari seribu obor dari botol minuman bekas. Saat itu, penerangan masih sangat terbatas. Dana Karangtaruna yang terbatas habis untuk membeli solar. Mereka pun menarik iuran dari para penambang dan mencampur minyak dengan oli bekas agar biaya bisa ditekan.
“Jadinya obornya asapnya tebal dan hitam. Tapi itu ternyata menjadi momen yang luar biasa,” kenang Kholik sambil tertawa.
Malam itu menjadi titik balik. Kholik menyebut, kehadiran Sultan membawa energi yang mengubah segalanya. Breksi yang dulu hanya bekas tambang, perlahan menjelma menjadi destinasi wisata.
“Nah, itu memang energi positif yang dibawa Ngarso Dalem itu memang luar biasa Mas. Karena waktu peresmian itu betul-betul terjadi interaksi antara masyarakat dengan Ngarso Dalem,” ujarnya.
“Jadi warga itu diterangkan kawasan ini ditetapkan menjadi Geoheritage, maka sudah tidak boleh ditambang lagi. Nah, untuk itu beliau juga menggali kehendak masyarakat. Pengin apa? Kan tentu saja harus ada peralihan kerja,” kata Kholik.
Hanya Sultan yang Bisa Menghentikan Tambang di Breksi
Kedatangan Sultan tak sekadar untuk meresmikan wisata. Ia datang membawa misi yang lebih besar: menghentikan aktivitas pertambangan di Breksi.
Sejak Oktober 2014, kawasan Breksi telah ditetapkan sebagai geoheritage oleh Kementerian ESDM. Penetapan ini membawa konsekuensi: seluruh kegiatan tambang yang telah berlangsung sejak 1983 harus dihentikan.
Padahal, pertambangan adalah sumber penghidupan utama warga. Tanah di kawasan itu didominasi lapisan batu tebal hingga ratusan meter, tak memungkinkan untuk bertani. Sebagai gantinya, pemerintah menawarkan pengembangan pariwisata.
“Dan ini tidak mudah. Karena dari menambang, mereka bisa mendapatkan Rp5 juta sampai Rp6 juta sebulan, sedangkan wisata ini kan enggak bisa menjamin,” ujar Aria Nugrahadi yang saat itu menjadi Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Dinas Pariwisata DIY.
Pada malam peresmian, Sultan tidak hanya meminta warga berhenti menambang. Ia juga membuka dialog, menanyakan bantuan apa yang dibutuhkan agar warga bersedia beralih profesi. Ada yang meminta warung, ada pula yang menginginkan sapi. Semua permintaan itu dipenuhi melalui Bantuan Gubernur Dana Keistimewaan (Bangub Dais).
“Pak Gubernur menyampaikan, tapi bapak ibu harus mau berhenti menambang ya. Semua jawab mau. Prosesnya enggak sampai 10 menit,” ujar Aria.
Padahal, selama berbulan-bulan sebelumnya, Aria dan timnya telah berusaha meyakinkan warga untuk menghentikan tambang dan beralih ke sektor pariwisata. Namun upaya itu tak membuahkan hasil. Bahkan, sepekan sebelum kedatangan Sultan, penolakan masih terus terjadi.
“Saat itu saya meyakini, hanya Pak Gubernur, Ngarso Dalem, yang bisa membujuk warga,” kata Aria.
Bagi Aria, semua ini menjadi simbol bersatunya pemimpin dan rakyat.
“Breksi itu simbol manunggaling kawulo lan gusti. Ngarso Dalem yang menghentikan tambang, yang memberikan harapan dan memotivasi ya Ngarso Dalem, yang membantu juga Ngarso Dalem,” ujarnya.
“Kami di dinas itu hanya menyiapkan data dan jadi katalisator agar kawula dan gusti ini segera bertemu,” pungkas Aria.
Kini, tepat 10 tahun Tebing Breksi menjadi destinasi wisata. Breksi sudah berubah, dari kawasan rusak bekas tambang menjadi tempat yang didatangi ribuan orang tiap hari. Dalam satu dekade, Tebing Breksi sudah menjadi ikon baru wisata di Sleman.