“Kami akan tetap berada di Bukit Pemanah, karena di belakang kami bergema suara Nabi yang mengguncang kami: 'Jangan tinggalkan posisi kalian," itulah yang dipublikasikan Al-Qassam, sayap militer Hamas, merujuk pada Pertempuran Uhud, salah satu pertempuran awal di mana umat Islam dikalahkan.
Hamas merujuk salah satu episode dalam sejarah Islam, ketika Rasulullah SAW telah memerintahkan para pemanah untuk tetap berada di bukit apa pun yang terjadi, bahkan jika musuh tampaknya telah dikalahkan. Namun, hanya segelintir yang bertahan, sementara sisanya bergegas untuk merebut rampasan perang.
Musuh kemudian mengepung kaum Muslim dengan berputar-putar di sekitar gunung dan melancarkan serangan mendadak, mengubahnya menjadi pertempuran yang kalah.
"Kami adalah segelintir pemanah, yang menaati perintah Nabi, perintah untuk membela keluarga dan tanah air, dan bahwa mati dalam pembelaan itu menjadikan seseorang syahid," demikian pernyataan resmi Al Qassam Hamas, dikutip pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Mereka juga menyiratkan bahwa seluruh dunia Muslim sibuk mengejar keuntungan materi sementara musuh menindas mereka, dan hanya sedikit yang tetap setia terhadap perintah Nabi.
Ini pertama kalinya sayap militer Hamas, Al-Qassam, tidak mengeluarkan ucapan selamat Idul Adha. Dan ini pertama kalinya Abu Ubaidah mengeluarkan pernyataan tentang Idul Adha tanpa menyebut Idul Adha.
Akan lebih banyak lagi operasi Hamas
Sebaliknya, ia bersumpah akan melakukan lebih banyak operasi dan lebih banyak lagi tentara 'Israel' yang tewas, menyusul dua operasi berdampak tinggi: satu di Jabalia, Gaza utara, yang korbannya tidak diungkapkan oleh tentara 'Israel' tetapi laman berbahasa Ibrani menanggapinya dengan emoji menangis, dan satu lagi di Gaza selatan, di mana tentara 'Israel' mengakui 4 orang tewas dan 5 orang terluka.
Angin pagi di Gaza membawa bau asap dan logam, bukan aroma masakan Idul Adha seperti biasanya. Di halaman rumah yang tinggal separuh, seorang anak laki-laki berdiri kaku memeluk kantong plastik—isinya bukan daging kurban, tapi sepotong roti basi yang ditemukan di puing-puing dapur tetangga.
Di saat sebagian dunia merayakan Idul Adha dengan damai, warga Gaza menyambut hari raya dalam situasi mencekam. Serangan 'Israel' penjajah ke Palestina terus menelan korban jiwa, bahkan saat takbir masih menggema.
Korban genosida terus bertambah
Pada Jumat pagi, 34 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan udara di beberapa titik padat penduduk.
Sejak Oktober 2023, genosida di Gaza telah merenggut nyawa 54.772 orang. Data dari Kementerian Kesehatan Palestina mencatat 125.834 warga mengalami luka-luka, dan lebih dari 11.000 lainnya hilang.
“Banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan dan di jalan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka,” kata perwakilan Kementerian.
Gelombang kecaman global
Situasi ini memantik reaksi keras dari dunia internasional. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, mengecam keras serangan terhadap warga sipil, terutama yang terjadi di lokasi distribusi bantuan.
“Untuk hari ketiga berturut-turut, banyak orang tewas di sekitar lokasi penyaluran bantuan yang dikelola oleh 'Yayasan Kemanusiaan Gaza'. Kami menerima informasi bahwa puluhan orang lainnya tewas dan terluka,” ujarnya, dikutip kantor berita Palestina, WAFA.
Türk juga menyoroti bahwa 'Israel' penjajah menjalankan strategi distribusi bantuan dengan cara yang membahayakan nyawa warga sipil.
“Warga Palestina telah dihadapkan pada pilihan yang paling mengerikan: mati kelaparan atau berisiko terbunuh saat mencoba mengakses makanan yang sangat sedikit yang disediakan melalui mekanisme bantuan kemanusiaan militer 'Israel'.”
Sementara itu, tekanan terhadap pemerintah ‘Israel’ penjajah meningkat. Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri 'Israel' Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Dalam konteks global, banyak negara dan organisasi HAM menyerukan penghentian agresi dan menuntut pertanggungjawaban hukum atas tragedi kemanusiaan ini. Penderitaan warga Gaza terus menjadi bukti nyata bahwa krisis ini bukan sekadar konflik, melainkan kegagalan kolektif dalam melindungi hak hidup paling dasar.