×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Connie Ungkap Tabiat Jokowi Curiga Ada Agenda Besar Politik: Uruslah Dahulu Pemalsuan Ijazah

Juli 17, 2025 Last Updated 2025-07-17T03:51:24Z


Pernyataan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), yang menduga adanya "agenda besar politik" di balik isu ijazah palsu dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, memicu respons tajam dari akademisi dan pengamat politik, Connie Rahakundini Bakrie.


Pernyataan Jokowi disampaikan di kediamannya di Solo pada 14 Juli 2025 lalu.


Isu ijazah palsu dan pemakzulan Gibran sendiri terus menjadi sorotan, dengan proses hukum yang kini telah memasuki tahap penyidikan di Polda Metro Jaya. 


Mengomentari pernyataan Jokowi, Connie menegaskan, tudingan itu tidak seharusnya dilontarkan untuk mencari kambing hitam.


Melainkan menjadi momen introspeksi atas dugaan pemalsuan ijazah, kondisi kesehatan yang dijadikan alasan, serta narasi kebohongan yang telah lama menjadi sorotan publik.


Hal tersebut ia ungkap kala mengomentari unggahan akun Instagram mantan anggota DPR dan wartawan, Akbar Faizal @akbarfaizal_uncensored, Rabu (16/7/2025).


Mengutip filsuf Yunani Heraclitus, Connie menyatakan, “Karakter adalah takdir.” 


Ia menilai bahwa situasi yang dihadapi Jokowi saat ini adalah konsekuensi dari tindakan dan narasi yang telah dibangunnya selama ini.


Menurutnya, menyalahkan adanya agenda besar politik adalah upaya untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu substansial yang seharusnya ditangani dengan transparansi dan akuntabilitas.


“Jika ada badai hari ini, jangan bertanya dari mana datangnya angin. Uruslah dahulu dugaan pemalsuan ijazah, kondisi kesehatan yang dijadikan tameng, serta tabiat yang sejak awal dinilai masyarakat luas menabur narasi kebohongan publik,” tulis Connie.


Connie juga menyinggung pentingnya menjaga martabat sebagai mantan pemimpin negara.


Perempuan yang menyandang gelar profesor ini menilai pernyataan Jokowi yang menggiring opini tentang adanya konspirasi politik justru dapat memperkeruh suasana dan melemahkan kepercayaan publik terhadap proses hukum yang sedang berjalan.


Mengacu pada pemikiran filsuf Immanuel Kant, Connie menyatakan, kebenaran adalah imperatif moral yang tidak dapat ditawar oleh kepentingan politik sesaat.


“Proses hukum dan pemakzulan berjalan dalam kerangka konstitusi,” paparnya.


Lebih lanjut, Connie mengutip Marcus Aurelius, “Everything we hear is an opinion, not a fact. Everything we see is a perspective, not the truth,” untuk mengingatkan Jokowi agar tidak terjebak dalam delusi keagungan diri. 


Ia menyarankan agar Jokowi memilih untuk diam dan merenung, alih-alih membangun narasi korban yang tidak konstruktif.


Bagi Connie, seorang pemimpin yang pernah diberi amanah besar seharusnya menunjukkan kebijaksanaan dengan turun dari panggung politik secara bermartabat, bukan memperkeruh situasi dengan propaganda.


Connie menutup pernyataannya dengan pesan tegas bahwa sejarah akan menilai siapa yang mampu menjaga kehormatan jabatan dan turun dari kekuasaan dengan bermartabat.


“Dunia tidak akan berhenti untuk meratapi yang tertinggal,” tulisnya.


Berikut tulisan lengkap Connie dalam kolom komentar unggahan Akbar Faizal:


"Dear Kaka Akbar Izinkan saya berpendapat


Sebagai guru besar di negeri nan waras dan perkasa, saya terpanggil untuk menyampaikan bukan sekadar kritik, melainkan peringatan bernas dari ruang nalar dan etika.


Jika ada badai hari ini, jangan bertanya dari mana datangnya angin.


Uruslah dahulu dugaan pemalsuan ijazah, kondisi kesehatan yang dijadikan tameng, serta tabiat yang sejak awal dinilai masyarakat luas menabur narasi kebohongan publik.


Seperti dikatakan oleh Heraclitus, “Karakter adalah takdir.”


Maka, bila nasib kini berbalik, lihatlah ke dalam — bukan mencari kambing hitam.


Negara ini telah memilih jalan baru — Presiden ke-8 oleh sejarah dan rakyat.


Maka tidak bijak, bahkan tercela, jika mantan pemimpin ke 7 justru meriuhkan arah bangsa demi ilusi personal.


Proses hukum dan pemakzulan berjalan dalam kerangka konstitusi, dan kebenaran, sebagaimana disampaikan oleh Kant, adalah imperatif moral yang tak bisa ditawar oleh agenda politik sesaat.


Jangan terjebak dalam delusi keagungan diri.


Marcus Aurelius pernah menulis: “Everything we hear is an opinion, not a fact. Everything we see is a perspective, not the truth.” 


Maka, berhentilah membangun propaganda.


Negara ini tak butuh narasi korban dari seseorang yang pernah diberi amanah, tapi justru gagal menjaga kehormatan jabatan.


Jika RI-7 masih memiliki sisa kebijaksanaan, gunakan itu untuk diam dalam perenungan, bukan bicara dalam kekaburan.


Dunia tidak akan berhenti untuk meratapi yang tertinggal, tapi sejarah akan selalu menilai siapa yang mampu turun dengan bermartabat.


Salam Negara Berkesadaran."


Adapun kecurigaan Jokowi disampaikan di kediamannya di Solo pada 14 Juli 2025, di mana ia menyebut isu ijazah palsu dan pemakzulan Gibran sebagai bagian dari agenda politik untuk menurunkan reputasinya.


“Ini perasaan politik saya, ada agenda besar politik untuk menurunkan reputasi politik, untuk men-downgrade,” ujar Jokowi.


Publik kini menanti kelanjutan proses hukum tersebut, sekaligus bagaimana Jokowi dan pihak-pihak terkait akan merespons dinamika ini ke depan.


Agenda Besar Politik


Jokowi mengaku mencium adanya "agenda besar politik" di balik serangkaian isu yang menerpanya setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI.


Jokowi menilai isu ijazah palsu dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai bagian dari upaya sistematis untuk merusak reputasi politiknya.


Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Beny Papa, menilai Jokowi selaku mantan Presiden RI selama dua periode memiliki perasaan politik tertentu mengenai isu yang diembuskan tersebut.


"Pertama, kami perlu menegaskan bahwa Pak Jokowi sebagai figur yang betul-betul menghormati proses hukum sehingga ketika ada isu yang menyangkut beliau, beliau membawa ke ranah hukum untuk dibuktikan di persidangan, termasuk ketika berkaitan dengan persoalan ijazah palsu yang kemudian selalu diembuskan oleh beberapa kelompok. Itu yang pertama." 


"Yang kedua, statement Pak Jokowi menjawab media terkait dengan isu ijazah palsu, saya kira Pak Jokowi sebagai presiden dua periode dan sebagai tokoh politik tentu memiliki feeling (perasaan) politik tertentu ketika melihat fenomena yang ada dan respons Pak Jokowi terhadap persoalan tuduhan ijazah palsu yang menyangkut dengan beliau yang hari ini selalu marak oleh beberapa kelompok, saya kira ini kan berdasarkan informasi-informasi yang beliau terima," ujar Beny Papa dalam acara Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Rabu (16/7/2025).


Beny menyebut, tak mungkin Jokowi mengungkapkan kecurigaannya mengenai adanya agenda politik di balik kasus itu jika tidak ada informasi valid yang dia terima.


Selaku mantan presiden dan tokoh politik, sambungnya, Jokowi tentu memilki saluran-saluran informasi yang bisa dipercaya dan kredibel.


"Dan apa yang disampaikan Pak Jokowi kemarin itu adalah respons bahwa memang kelompok-kelompok yang selama ini menuduh bahwa ijazah Pak Jokowi palsu ini adalah kelompok-kelompok yang memang mau mendiskreditkan figur Pak Jokowi sebagai tokoh politik yang selama ini dihormati sebagai satu presiden yang betul-betul berhasil untuk membangun bangsa kita," ungkapnya.


Diberitakan sebelumnya, pengakuan Jokowi itu disampaikan pada Senin (14/7/2025) lalu.


"Ini perasaan politik saya, ada agenda besar politik untuk menurunkan reputasi politik, untuk men-downgrade," kata Jokowi.


Meski demikian, ia menegaskan bahwa dirinya tidak terpengaruh dan menganggap tudingan-tudingan itu sebagai hal yang biasa saja. 


"Biasa-biasa ajalah," ucap Jokowi.


Komentar PDIP


Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Aria Bima merespons pernyataan Jokowi yang mencurigai adanya agenda politik besar di balik isu ijazah palsu dan wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka.


Ia menyarankan agar Jokowi lebih memilih menyampaikan pemikiran-pemikiran strategis untuk bangsa daripada terlibat dalam narasi politik yang disebutnya terlalu kecil.


"Beliau sebaiknya memberikan pencerahan terhadap bangsa ini, membawa semangat besar, bukan soal-soal seperti itu," ujar Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (15/7/2025).


Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu menilai, narasi yang dibangun Jokowi seputar skenario politik hanya akan memperkeruh ruang publik. 


Ia berharap mantan presiden itu lebih menekankan pentingnya nilai-nilai kebangsaan, sebagaimana dilakukan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.


"Politik ini penuh skenario. Tapi yang penting adalah kehendak baik dari masing-masing partai politik. Itu yang perlu dinarasikan," tegasnya.


Aria Bima menilai, sebagai tokoh yang pernah memimpin dua periode, Jokowi seharusnya menampilkan kepemimpinan moral yang membangun nilai dan kebangsaan, bukan terbawa arus spekulasi.


"Menurut saya, soal ijazah ini juga terlalu berlebihan. Masalah-masalah penting bangsa ini jadi tidak dibicarakan," tuturnya.


Ia juga membandingkan pendekatan narasi antara Jokowi dan Megawati.


Menurutnya, Megawati kini lebih banyak menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan global, seperti saat kunjungan ke Vatikan dan Tiongkok.


"Bagaimana norma-norma tentang perikemanusiaan, tentang keadilan, tentang kebersamaan itu harus diglorifikasi," tuturnya.

×