Mohamed Yousef, warga Palestina di desa Masafer Yatta, Tepi Barat yang diduduki, tak kuasa melawan ketika tangan dan kakinya diikat oleh tentara Israel pada akhir Juni lalu.
Bersama ibu, istri, dan dua saudara perempuannya, Mohamed ditangkap di tanah miliknya sendiri setelah berusaha menghalau pemukim Israel bersenjata yang menggembalakan ternak di lahannya.
Menurut keterangan Yousef, para pemukim kerap mendatangi lahan warga Palestina untuk menunjukkan klaim kuasa, memperluas akses, serta membuka jalan bagi pendirian pos ilegal yang memutus warga dari sumber pertanian dan penghidupan mereka.
“Saya hanya ingin mempertahankan tanah kami,” kata Mohamed dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (10/7/2025).
Namun, seperti yang sering terjadi, warga Palestina-lah yang justru dihukum. Ia bersama keluarganya dipaksa duduk berjam-jam di bawah terik matahari di kamp militer. Meski dibebaskan keesokan harinya, kekhawatiran belum sirna.
“Polisi, tentara Israel, dan pemukim menyerang kami bersamaan. Apa yang harus kami lakukan?” ujarnya.
Ancaman penggusuran massal
Kekhawatiran Mohamed bukan tanpa alasan. Sekitar 1.200 warga Palestina di Masafer Yatta, termasuk dirinya, terancam diusir dari tanah mereka.
Pada 17 Juni, saat perhatian dunia tertuju pada perang Israel-Iran, pemerintah Israel mengajukan permintaan resmi ke Mahkamah Agung Israel untuk menghancurkan sedikitnya 12 desa di kawasan tersebut.
Permintaan itu diajukan atas nama tentara Israel dengan dalih kawasan itu akan dijadikan zona tembak atau area pelatihan militer.
Namun, laporan organisasi sipil Israel, Kerem Navot, tahun 2015, menemukan bahwa alasan semacam ini kerap digunakan sebagai kedok untuk merampas tanah Palestina.
Sejak pendudukan Israel atas Tepi Barat usai Perang 1967, sekitar sepertiga wilayah itu ditetapkan sebagai zona militer tertutup, tetapi menurut laporan, latihan tempur hanya dilakukan di 20 persen wilayahnya.
Studi itu menyimpulkan, penyitaan tanah oleh militer bertujuan membatasi akses warga Palestina dan mempermudah alih fungsi lahan bagi pemukim Israel.
Perjuangan hukum yang berliku
Pengadilan Tinggi Israel, yang kini memproses petisi negara, dikhawatirkan akan kembali memihak tentara.
Amnesty International menyoroti peran pengadilan yang selama ini kerap mengesahkan kebijakan Israel di Tepi Barat, termasuk penggusuran komunitas Palestina secara massal.
Warga desa pertama kali menerima surat penggusuran pada 1999, dengan label zona latihan militer bernama “Zona Tembak 918”.
Tentara berkilah bahwa komunitas penggembala di wilayah itu bukan penduduk tetap, meski warga mengeklaim telah mendiami kawasan tersebut jauh sebelum Israel berdiri pada 1948, yang oleh warga Palestina dikenal sebagai peristiwa Nakba atau bencana.
Sejak itu, warga bersama para pengacara hak asasi manusia menempuh berbagai jalur hukum untuk menunda pengusiran. Pada 2000, seorang hakim memerintahkan agar warga diizinkan kembali ke desa mereka hingga ada keputusan akhir.
Namun perjuangan panjang itu sempat terpukul pada Mei 2022, ketika Pengadilan Tinggi memerintahkan pengusiran delapan desa di Masafer Yatta. Hakim menolak bukti yang diajukan, termasuk artefak, foto, dan peralatan lama yang menunjukkan jejak pemukiman permanen warga.
“Kami membawa bukti ke pengadilan, tapi semua ditolak karena dianggap tidak relevan,” ujar Netta Amar-Shiff, salah satu pengacara warga.
Warga tak tahu harus ke mana
Bagi warga seperti Mohamed, ketidakpastian membayangi hari-hari mereka.
“Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami. Kalaupun kami dipaksa pergi, ke mana kami harus pindah? Di mana kami akan tinggal?” ungkap dia.
Nidal Younis (63), Kepala Dewan Masafer Yatta, mengatakan, Israel sudah berusaha mengusir warga Palestina selama puluhan tahun.
Kini, komunitas tersebut kembali menggantungkan harapan pada perjuangan hukum terakhir untuk bertahan di tanah yang telah mereka tempati selama beberapa generasi.