Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kepala Dinas di Jateng Dilarang Beri Sambutan karena Perempuan, "Kalau Tak Boleh, Saya Pulang"

Agustus 01, 2025 Last Updated 2025-08-01T03:29:18Z

 


Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah, Ema Rachmawati, mengungkapkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih sering terjadi, bahkan dalam kegiatan sosial keagamaan.


Hal itu ia sampaikan dalam sebuah diskusi di Kantor PKK Jawa Tengah, Kamis (31/7/2025), dengan membagikan pengalamannya sendiri sebagai contoh nyata.


Ema menceritakan pernah ditolak saat diminta mewakili Gubernur Jawa Tengah membuka acara pengajian yang dihadiri para tokoh agama, termasuk sejumlah habib.


“Saya datang mewakili Bapak Gubernur membuka acara, tapi karena saya perempuan, saya tidak diperbolehkan memberikan sambutan. Bahkan habib itu bilang saya boleh berbicara asal dari balik panggung, hanya suaranya saja yang terdengar,” ungkap Ema.


Merasa tak dihargai, Ema—yang sebelumnya menjabat Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Provinsi Jateng—memilih untuk meninggalkan acara tersebut.


“Saya bilang, kalau begitu saya tadi pakai rukuh (mukena) saja sambutan dari dalam rukuh. Tapi saya tidak mau. Kalau saya tidak boleh sambutan, saya pulang,” tegasnya.


Menurut Ema, pengalaman tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih nyata di ruang publik.


“Ini contoh nyata bagaimana perempuan masih dibatasi ruangnya untuk tampil di depan umum, hanya karena alasan gender,” kata Ema.


Pengalaman serupa juga diungkapkan oleh Suborini, seorang pranatacara atau MC adat Jawa yang biasa memimpin prosesi pasrah pengantin dalam pernikahan.


Ia menceritakan pernah ditolak saat hendak menyampaikan pasrah pengantin dalam sebuah acara pernikahan yang dihadiri tokoh masyarakat dan agama.


“Saya sudah dibayar dan menyiapkan kata-kata, tapi ketika tahu yang akan menyampaikan pasrah pengantin itu perempuan, mereka menolak. Saya akhirnya memilih untuk pergi,” ujar Suborini.


Meskipun pihak tuan rumah kemudian meminta maaf, pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam baginya.


“Saya merasa bahwa perempuan tidak diberi kesempatan untuk berbicara, padahal saya ke sana dibayar untuk bicara. Ini sebuah diskriminasi yang turun-temurun,” tambahnya.

×