Politikus sekaligus tokoh Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali bikin publik heboh.
Kali ini, pernyataannya yang menyebut bahwa rakyat sejatinya tidak jauh beda dengan politisi korup sama-sama serakah dan buas jadi sorotan tajam netizen.
Ucapan blak-blakan itu diungkap Dedi dalam sebuah forum diskusi publik. Ia menilai, kebiasaan menyalahkan pejabat atau politisi korup seringkali hanya jadi ajang pelampiasan, padahal mentalitas serupa juga ada di masyarakat.
“Rakyat Kadang Sama Serakahnya”
Menurut Dedi, praktik serakah tidak melulu ada di kalangan pejabat.
Ia mencontohkan bagaimana sebagian masyarakat masih sering menempuh jalan pintas untuk keuntungan pribadi, bahkan rela menabrak aturan.
“Kalau kita jujur, jangan-jangan rakyat pun sama serakahnya, sama buasnya. Bedanya hanya di skala. Politisi korup mengambil miliaran, tapi rakyat juga kadang tidak segan ‘mengakali’ demi keuntungan kecil,” ucapnya dengan nada tegas.
Pro-Kontra Tak Terhindarkan
Seperti biasa, pernyataan kontroversial ini langsung viral di media sosial. Komentar publik pun pecah jadi dua kubu:
Pro: Ada yang menilai pernyataan Dedi realistis dan jujur. “Benar juga, jangan suka playing victim, mental korup itu bisa menular dari bawah ke atas,” tulis seorang netizen.
Kontra: Tak sedikit pula yang merasa tersinggung. “Ngapain nyamain rakyat kecil dengan pejabat korupsi miliaran? Jelas beda level!” sindir yang lain.
Kritik untuk Dua Arah
Pengamat politik menilai, pernyataan Dedi bisa dimaknai sebagai tamparan dua arah.
Di satu sisi, ia ingin menyadarkan bahwa mentalitas serakah bisa muncul di semua level sosial.
Namun di sisi lain, kalimat tersebut rawan dipahami sebagai upaya menyamakan rakyat biasa dengan pejabat korup yang jelas berbeda skala kerugian yang ditimbulkan.
“Ini sebenarnya kritik sosial. Tapi karena wording-nya tajam, jadinya gampang disalahartikan,” ujar seorang analis.
Pernyataan Dedi Mulyadi sekali lagi menunjukkan gaya komunikasinya yang blak-blakan dan tanpa filter.
Entah disukai atau dibenci, ia berhasil bikin publik berpikir ulang soal siapa sebenarnya yang bisa disebut “korup” dan bagaimana budaya serakah itu berakar.
Satu hal yang jelas: debat soal moralitas rakyat vs politisi ini masih akan terus jadi bahan diskusi panjang di warung kopi hingga ruang parlemen. (***)