Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD melontarkan kritik tajam terhadap terbitnya Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025. Menurut Mahfud, aturan tersebut tidak sejalan, bahkan bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja diketok pada November 2025.
Mahfud menegaskan bahwa MK telah memberikan batasan yang sangat jelas terkait penempatan anggota Polri di luar institusinya. Dalam putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di institusi sipil jika mengundurkan diri atau telah memasuki masa pensiun.
“Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagaimana telah diputuskan MK. Tidak ada lagi mekanisme penugasan dari Kapolri,” ujar Mahfud, Jumat (12/12/2025).
Menurut Mahfud, keberadaan Perpol tersebut tidak hanya melanggar putusan MK, tetapi juga berpotensi bertabrakan dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia menilai, penempatan polisi aktif ke jabatan sipil sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Mahfud juga membandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang TNI. Dalam UU TNI, secara tegas diatur 14 jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Sementara dalam UU Polri, aturan serupa tidak pernah diatur.
“Jadi Perpol ini tidak punya dasar hukum dan konstitusionalitas yang jelas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Mahfud mengingatkan bahwa meskipun Polri dikategorikan sebagai institusi sipil, hal itu tidak otomatis memberi ruang bagi anggotanya untuk mengisi berbagai jabatan sipil di luar bidang kepolisian.
Ia mencontohkan, dalam sistem hukum dan birokrasi, setiap profesi memiliki batas kewenangan. Dokter tidak bisa menjadi jaksa, dosen tidak bisa menjadi jaksa, dan jaksa pun tidak bisa menjadi dokter, meskipun sama-sama berada dalam ranah sipil.
Mahfud menekankan bahwa pandangannya tersebut disampaikan murni sebagai akademisi hukum tata negara, bukan dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sendiri menjadi sorotan publik karena membuka peluang bagi anggota Polri aktif untuk ditempatkan di 17 kementerian dan lembaga negara. Kebijakan ini dinilai kontroversial karena muncul setelah MK secara tegas membatasi ruang penempatan tersebut.
Adapun kementerian dan lembaga yang tercantum dalam Perpol itu antara lain Kemenko Polhukam, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Perhubungan, ATR/BPN, Lemhannas, OJK, PPATK, BNN, BNPT, BIN, BSSN, KPK, hingga beberapa lembaga strategis lainnya.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa rumusan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bersifat jelas dan tidak membuka ruang tafsir tambahan. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur bahkan menegaskan bahwa penjelasan undang-undang tidak boleh menciptakan norma baru yang justru menimbulkan ambiguitas.
MK menilai, ketidakjelasan aturan terkait jabatan sipil bagi anggota Polri berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi internal Polri maupun bagi karier aparatur sipil negara di luar kepolisian.
Kontroversi Perpol 10/2025 pun kini menjadi perhatian luas dan berpotensi memicu perdebatan lanjutan terkait konsistensi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.


