Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Ekonomi RI 2023, Aman dari Resesi Tapi Terancam Stagflasi

Januari 13, 2023 Last Updated 2023-01-13T05:36:01Z


 Bayang ketidakpastian masih diperkirakan masih membayangi ekonomi dunia pada 2023 mendatang. Penyebabnya, masih dipicu oleh perang yang berkecamuk antara Rusia dengan Ukraina.

Perang mengakibatkan gangguan pasokan beberapa komoditas penting dunia, seperti; minyak, gas, gandum. Gangguan memicu lonjakan harga komoditas dan inflasi yang kemudian mendorong sejumlah bank sentral dunia mengerak bunga acuan mereka yang berpotensi menekan kinerja pertumbuhan ekonomi.


Sejumlah lembaga dunia bahkan sudah membuat proyeksi atas potensi pelemahan kinerja pertumbuhan itu. Misalnya Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 2,9 persen pada tahun depan.


Sementara pertumbuhan ekonomi RI diproyeksi hanya 5 persen pada 2023. Angka ini mendapat revisi ketiga kalinya dari proyeksi April sebesar 5,9 persen dan Juli di kisaran 5,2 persen.


Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 dari 5,1 persen menjadi 4,8 persen. Sementara inflasi diproyeksi mencapai 4,5 persen tahun depan.


Kendati demikian, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen mengatakan Indonesia dapat mempertahankan pertumbuhan yang kuat dan mengatasi potensi tantangan ke depan dengan beberapa inisiatif, di antaranya melanjutkan penerapan reformasi pajak yang akan membantu menciptakan ruang bagi investasi dan menciptakan ketahanan terhadap goncangan.


Kemudian, penetapan harga berbasis aturan untuk energi yang dapat menekan subsidi, serta menerapkan program jaring pengaman sosial yang dapat ditargetkan secara lebih efektif dan diperluas untuk menciptakan jaminan perlindungan.


Di sisi lain, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut Indonesia menjadi titik terang saat ekonomi dunia suram. Hal tersebut ia ungkapkan saat bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.


"Indonesia remains a bright spot in a worsening global economy (Indonesia tetap menjadi titik terang dalam ekonomi global yang memburuk)," tulis Kristalina melalui akun Instagram pribadinya dikutip pada Rabu (12/10).


Lantas bagaimana perkiraan ekonomi RI tahun depan di tengah ancaman resesi global?


Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai pertumbuhan Indonesia yang terus menunjukkan pemulihan di tengah pelemahan global bahkan mencapai 5,7 persen di kuartal III 2022 memang memunculkan ekspektasi tinggi dari banyak pihak; perekonomian Indonesia akan terhindari dari resesi tahun depan.


Namun, ia menilai Indonesia sulit menghindari ancaman stagflasi pada tahun depan.


Meski inflasi relatif terkendali dan diproyeksi semakin menurun seiring suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang dikerek semakin tinggi, kenaikan harga barang dan jasa di dalam negeri karena naiknya biaya produk-produk impor atau imported inflation serta pelemahan nilai tukar rupiah masih berpotensi mengancam Indonesia.


"Di saat yang sama pelemahan ekspor mulai melemahkan kinerja pertumbuhan kita," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (18/12).


Yusuf memprediksi resesi global akan sulit dihindari karena perang Rusia-Ukraina yang belum berakhir dan munculnya ketegangan baru antara China-Taiwan. Ditambah lagi, suku bunga acuan Amerika Serikat yang terus dipertahankan tinggi dan berpotensi meningkat karena inflasi masih di kisaran 9 persen.


Yusuf menilai kekuatan pertumbuhan Indonesia adalah konsumsi rumah tangga yang besar. Maka dari itu, daya beli masyarakat perlu dijaga, terlebih ketika ekspor mulai melemah seiring dengan pelemahan permintaan global.


"Tanpa upaya ekstra menjaga daya beli rakyat tahun depan, berpotensi akan membuat dua motor pertumbuhan kita, konsumsi rumah tangga dan ekspor, akan lumpuh bersamaan," ujarnya.


Menurutnya, langkah terpenting untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dengan menjaga sektor riil dari kejatuhan. Ia lantas menilai kebijakan BI menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan perlu dievaluasi karena menghambat upaya pemulihan usaha di sektor riil.


Yusuf mengatakan hal yang penting justru adalah mengetatkan aturan tentang devisa hasil ekspor. Jika seluruh devisa hasil ekspor kembali ke dalam negeri dan efektif ditukar ke rupiah, maka akan membantu BI untuk menurunkan suku bunga acuan.


Di sisi lain, kinerja sektor-sektor prioritas terutama sektor pangan yaitu pertanian dan peternakan harus segera ditingkatkan termasuk menjaga pasokan pupuk dan pakan ternak pada harga yang terjangkau.


Selain pangan, sektor prioritas penting lainnya yang harus didorong untuk menjaga momentum pertumbuhan sekaligus menekan inflasi adalah sektor energi, terutama dengan menjaga pasokan gas dan batu bara untuk industri domestik.


Sementara itu, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social Economics and Digital (ISED) Ryan Kiryanto memprediksi ekonomi Indonesia akan baik-baik saja pada tahun depan.

Ekonomi Indonesia 2023 diprediksi tumbuh 4,8 hingga 5,2 persen, ditopang oleh kuatnya konsumsi rumah tangga domestik dan investasi langsung baik asing maupun dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi juga disokong oleh kinerja ekspor yang baik.


"Kesimpulannya, negara-negara maju di AS dan Eropa boleh terpapar resesi atau krisis ekonomi, reflasi atau stagflasi, namun ekonomi RI tetap baik-baik saja, meskipun perang di Ukraina masih berlanjut dengan krisis energi dan inflasi yang tinggi terus membayangi," ujarnya.


"Masih kuatnya konsumsi domestik memberikan harapan bagi dunia bisnis untuk melakukan ekspansi dan investasi," ujarnya.


Meski demikian, net ekspor yang berperan besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir, diprediksi akan berkurang perannya pada 2023. Tantangan lainnya berada pada daya beli 40 persen penduduk berpendapatan terendah yang diprediksi akan tergerus oleh inflasi.


Di sisi lain, Yusuf melihat dunia memiliki peluang untuk tidak serta-merta jatuh ke jurang resesi pada tahun depan meskipun ekonomi diprediksi tumbuh lebih lambat.


Ekonomi negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mungkin menjadi rentan akibat lonjakan inflasi dan pengetatan moneter. Namun, Tiongkok yang menjadi mitra dagang terbesar banyak negara termasuk Indonesia menunjukkan indikasi perbaikan, sejalan dengan semakin terkendalinya penyaluran covid-19.


"Inflasi global memang masih berpotensi meningkat, namun kami memperkirakan tekanannya cenderung lebih rendah dibanding tahun ini," ujarnya.[SB]

×