Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Hong Kong Terancam Krisis Populasi Manusia

Mei 21, 2023 Last Updated 2023-05-21T05:19:36Z


Hong Kong terancam krisis populasi manusia lantaran jumlah kelahiran anak kian menurun drastis dalam beberapa dekade.


Negara yang pernah dijajah Inggris itu memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia, menurut laporan United Nation Population Fund yang dirilis pada 19 April 2023.


Dampak dari turunnya tren demografi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun ini telah muncul di masyarakat.


Dalam beberapa minggu terakhir, Menteri Pendidikan Hong Kong, Christine Choi, mengatakan lima sekolah dasar tidak menerima dana subsidi karena terlalu sedikit murid yang mendaftar.


Sekolah-sekolah tersebut mungkin akan "ditutup", seperti yang dilaporkan oleh beberapa media lokal.


"Jika Anda mengatakan [menarik subsidi untuk] kelas yang kekurangan satu murid sama saja dengan tidak memiliki belas kasihan, maka hal yang sama juga bisa dikatakan untuk menariknya dari kelas yang berisi 14 murid. Berapa jumlah murid yang masuk akal, dalam hal ini?" tutur Choi bertanya kepada seorang reporter pada konferensi pers tentang pembatalan kelas Primary One.


Ia tidak menampik bahwa ini merupakan fakta dari turunya populasi manusia di negara tersebut. Akibatnya, kuantitas anak yang masuk sekolah juga menurun.


"Ini adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa populasi usia sekolah menurun," kata Biro Pendidikan dalam sebuah dokumen yang diserahkan kepada Dewan Legislatif pada Maret.


Pada 2029, populasi usia sekolah yang berusia 12 tahun diperkirakan akan turun 16 persen dari 71.600 tahun ini menjadi 60.100.


Sebuah survei pada 2023 oleh Asosiasi Pengembangan Wanita Hong Kong (HKWDA) menunjukkan lebih dari 70 persen responden berusia 18 tahun ke atas mengatakan tidak memiliki rencana untuk melahirkan.


Selain itu, survei yang dilakukan Asosiasi Keluarga Berencana Hong Kong menyebut lebih dari 8.000 murid sekolah menengah pada 2022. Hasilnya, jumlah anak laki-laki dan perempuan yang ingin memiliki anak di masa depan telah anjlok dari 84 persen dan 80 persen.


Hal ini menyiratkan perubahan yang lebih drastis dalam sikap perempuan muda terhadap reproduksi. "Sungguh aneh bahwa siswa sekolah menengah telah kehilangan kepercayaan terhadap pernikahan dan melahirkan pada tahap yang begitu dini," kata ketua komite penelitian, Paul Yip.


Yip mengatakan aksi protes tahun 2019 terhadap RUU ekstradisi, Covid-19, dan eksodus dari Hong Kong diduga telah berdampak pada generasi muda. Dia menyimpulkan pemerintah dan individu berkontribusi terhadap fenomena ini.


"[Kita] perlu membangun masyarakat yang membuat generasi muda merasa memiliki harapan, sehingga mereka akan tetap tinggal dan memiliki anak," tuturnya.


HKFP berbicara dengan tiga wanita muda yang lahir dan dibesarkan di Hong Kong. Ia menuturkan pandangan tentang membesarkan anak di Ibu Kota.


Jinn, seorang ibu muda yang berprofesi sebagai pelatih fisik mengaku tidak ingin mempunyai anak.


"Saya tidak ingin punya anak, bukan berarti saya tidak menyukainya, tetapi saya merasa mereka akan sengsara... atau setidaknya tidak bahagia tumbuh di Hong Kong," ujar Jinn kepada HKFP.


Setelah protes dan kerusuhan tahun 2019, Inggris dan Kanada meluncurkan jalur cepat untuk pergi dari Hong Kong. Jinn dan pasanganya, Roy, termasuk di antara anak muda Hong Kong yang telah memulai hidup baru di Kanada.


Awalnya, Roy, yang belajar di AS, tidak terlalu antusias dengan emigrasi. Namun, dia berubah pikiran setelah berbicara dengan Jinn tentang masa depan mereka.


Jinn mengatakan bahwa dia menganggap Hong Kong sebagai tempat yang memprioritaskan kesuksesan finansial di atas kualitas lainnya.


Doktrin tidak boleh menikah

Berbeda dengan Jin, Stephanie mengatakan bahwa ia tidak berniat untuk memikirkan ulang pemikiran untuk melahirkan.


"Untuk waktu yang lama, saya tahu saya tidak ingin memiliki anak. Tapi setelah tahun 2019, saya menjadi sangat, sangat, sangat yakin bahwa saya tidak ingin punya anak," kata Stephanie, setengah bercanda.


Ia menyebut dirinya sebagai seorang anti-nativis dan "percaya pada kepercayaan tidak menikah.


Stephanie mengatakan ia menolak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti orang tuanya, yang telah "gagal menjalankan tugas sebagai orang tua."


Wanita berusia 24 tahun yang bekerja di bidang pemasaran ini juga berbicara tentang ketidakpercayaan dirinya terhadap masa depan dan sistem pendidikan di Hong Kong.


Terlepas dari itu, secara finansial tidak memungkinkan bagi ia dan pasangan untuk beremigrasi saat ini.


"Yang paling penting, saya tidak melihat bagaimana melahirkan bayi dari dalam tubuh saya akan bermanfaat bagi hidup saya," katanya.


Wanita muda asal Hong Kong ini mengatakan bahwa kekasihnya memiliki pemikiran yang sama mengenai pernikahan dan anak-anak.


Ia menyebut bahwa sebagian besar teman-temannya yang berusia 20-an tahun juga belum memikirkan untuk memiliki anak.


"Saya tidak pernah bisa mengerti mengapa ada orang yang ingin memiliki anak," katanya.[SB]

×