Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana melakukan penyelidikan terkait ekspor
ilegal 5,3 juta ton bijih nikel atau nickel ore ke China sepanjang 2020 hingga
Juni 2022.
Pelaksana Tugas
(Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Brigjen Asep Guntur Rahayu
mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman terkait ekspor
ilegal bijih nikel tersebut.
"Ya
rencana (penyelidikan) tentu ada," ujar Asep kepada wartawan di Gedung
Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan,
Kamis (6/7).
Namun kata
Asep, sebelum dilakukan penyelidikan, terdapat tahapan, yakni pendalaman
terhadap informasi dan bahan keterangan.
"Karena
kita harus yakin bahwa memang source hukumnya harus ada, bahan-bahan keterangan
itu harus ada," pungkas Asep.
Ketua Satgas
Koordinator Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK, Dian Patria mengatakan, dugaan
adanya ekspor ilegal bijih nikel diketahui dari situs website Bea Cukai China.
Sebab, sejak Januari tahun 2020 ekspor bijih nikel dilarang.
Dari data
kajian KPK kata Dian, terdapat selisih data ekspor nikel dari Badan Pusat
Statistik (BPS) dengan data Bea Cukai China terkait impor bijih nikel dari
Indonesia.
Di mana, pada
2020, China mengimpor sebanyak 3.393.251.356 kilogram bijih nikel dari
Indonesia. Lalu pada 2021, China mengimpor sebanyak 839.161.249 kilogram bijih
nikel dari Indonesia. Dan pada 2022, China mengimpor sebanyak 1.085.675.336
kilogram bijih nikel dari Indonesia. Sehingga, totalnya adalah 5.318.087.941
kilogram.
Dari data
tersebut, KPK kemudian menemukan adanya selisih nilai ekspor sebesar Rp
8.640.774.767.712,11 (Rp 8,6 triliun) pada 2020. Lalu pada 2021, terdapat
selisih nilai ekspor sebesar Rp2.720.539.323.778,94 (Rp2,7 triliun.
Selanjutnya
pada 2022 sampai dengan Juni, terdapat selisih nilai ekspor sebesar Rp3.152.224.595.488,55
(Rp3,1 triliun). Sehingga, total selisih nilai ekspor mencapai Rp
14.513.538.686.979,60 (Rp 14,5 triliun).
Selain itu kata
Dian, KPK menemukan selisih biaya royalti ditambah bea keluar senilai ratusan
miliar rupiah yang seharusnya menjadi pendapatan negara.
Di mana,
selisihnya pada 2020 sebesar Rp327.866.721.117,38 (Rp 327,8 miliar), pada 2021
sebesar Rp 106.085.151.726,89 (Rp 106 miliar), dan pada 2022 hingga Juni
sebesar Rp 141.116.926.878,25 (Rp 141,1 miliar). Sehingga, dugaan selisih
royalti ditambah bea keluar adalah sebesar Rp 575.068.799.722,52 (Rp 575
miliar) yang menjadi dugaan kerugian negara sementara.
“Ya dari
Januari 2020 sampai dengan Juni 2022 (dugaan kerugian negara Rp 575
miliar)" pungkas Dian.[SB]