Direktur
Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menuturkan penetapan Pokok-Pokok Haluan
Negara (PPHN) berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari jika presiden
terpilih memiliki visi misi berbeda dengan PPHN.
Bahkan Qodari
mengatakan pelanggaran terhadap PPHN bisa menjadi salahsatu alasan seorang
presiden bisa di impeachment atau pemakzulan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Guru Besar
Hukum Tata Negara Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda
mengatakan, soal problematik atau tidak bukan tergantung atau terletak pada ada
atau tidaknya PPHN. Melainkan tergantung pada menipis atau menguatnya komitmen
untuk tetap konsisten menjalankan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 oleh presiden
dan MPR serta peraturan yang ditetapkan.
“Soal Presiden
bisa di impeachment atau tidak tergantung pada regulasi yang kita buat, jika
ada regulasi menyatakan presiden dianggap menyimpang dari haluan negara dan
ternyata terbukti benar, bisa saja di impeach,” ujar Prof Juanda, Jumat
(25/8/2023).
“Tapi sepanjang belum ada regulasinya tentu
tidak bisa di impeachment, soal impeachment tentu tidak boleh karena alasan
politik tapi alasan hukum,” sambungnya.
Prof Juanda
menegaskan, pemakzulan terhadap presiden tidak boleh karena alasan politik,
tetapi harus berdasarkan hukum, sebagaimana dalam Pasal 7A UUD 1945, yang
berbunyi: "presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau
wakil presiden,"
Oleh karena
itu, kata Prof Juanda, saat ini melanggar PPHN belum termasuk wilayah hukum
sebelum ditetapkan dan di masukkan ke dalam peraturan perundangan.
“Sekarang kalau
kita mau masukkan ketika ada PPHN nanti kalau presiden melanggar PPHN kalau itu
belum diatur dalam regulasi hukum tata negara kita bisa saja itu kita anggap
impeact alasan politik,” ucapnya.
“Namun jika
berlandaskan alasan hukum itu artinya ketika seorang presiden dianggap
melanggar haluan negara berarti rohnya sudah terbukti melanggar Pancasila sudah
terbukti melanggar Undang-Undang Dasar 45,” tegasnya.
Lanjut Prof
Juanda, tahapan memberhentikan presiden berdasarkan hukum juga tidak mudah.
Sebab, DPR atau MPR mengajukan proses hukum terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi
(MK) jika MK sudah mengeluarkan putusan presiden terbukti bersalah maka DPR dan
MPR mengadakan sidang paripurna untuk menghentikan presiden.
Ini cara untuk
menambah tinggi badan Anda! +10 CM dalam 3 BULAN
“Ketika itu
diproses dan terbukti di sidang Mahkamah Konstitusi melalui usulan DPR dan
terakhir MPR melakukan sidang maka itu namanya proses hukum boleh tetapi tidak
serta merta yang menyatakan melanggar itu hanya MPR, hei you melanggar kau,
tidak bisa tidak boleh itu itu politis, tapi harus sesuai prosedur hukum,”
terangnya.
Selain itu,
Prof Juanda juga menanggapi soal usulan Qodari masa jabatan presiden menjadi 5
periode, hal itu bagi Prof Juanda bukan solusi sebagai pengganti PPHN, bahkan
berpotensi menjadi sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Hak setiap
warga negara mengusulkan mau 5 periode 10 periode, tetapi saya sendiri
berpendapat masa lalu kita sudah pernah praktiknya hampir sama 30 tahun itu
sama dengan 25 tahun, karena 5 periode atau lima tahun, satu periode kalau 6
tahun berarti 30 tahun. Masa lalu kita sudah terbukti itu pasti mengembalikan
otoritarian dan absolutisme. Itu adalah sebuah kemunduran untuk kita
berdemokrasi,” ungkapnya.
Dikatakan Prof
Juanda, Amerika Serikan sebagai ‘mbahnya’ demokrasi saja dibatasi hanya sampai
2 periode masa jabatan presiden.
“Amerika
misalnya kenapa mereka sudah menyiapkan dua kali, dua kali dibatasi saya kira
menurut saya mungkin tidak dalam ilmu saya, tetapi hati kami yang bicara dan
pengetahuan tentang demokrasi itu cukuplah masa lalu yang kelam janganlah
diulangi,” ucapnya.
Prof Juanda
berpendapat jika presiden terpilih sampai 5 periode lamannya sebuah indikator
bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan kader dan calon pemimpin bangsa yang
baik, salahsatunya lewat partai politik.
“Menggambarkan
bahwa bangsa ini tidak menyiapkan diri untuk melakukan pengkaderan, pegantian
pemimpin dengan baik,”urainya.
Lebih jauh Prof
Juanda mengatakan, kekuasaan yang lama dikendalikan oleh seseorang juga akan
menimbulkan potensi kekuasaan yang korup. Seperti adagium “Power tends to
corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup.
Kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.”).
“Kekuasaan itu
sama dengan narkotika kalau sekali berkuasa ingin dua kali, dua kali mau tiga
kali dan itulah hakikat dari kekuasaan itu ketika tidak ditopang oleh satu
kesadaran untuk menjalankan roda pemerintahan berdasarkan aturan makanya
kekuasaan itu dibatasi oleh hukum di situlah negara demokrasi,” tukasnya.[SB]