Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

"Kuda-kuda" PDI-P Menuju Oposisi Dinilai Sudah Solid, PKS Punya Kans Bermanuver

Februari 20, 2024 Last Updated 2024-02-20T08:45:06Z


Penghitungan suara sementara pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 memperlihatkan ada kecenderungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal menjadi oposisi.


PDI-P adalah salah satu partai politik yang mengusung calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.


Sedangkan PKS adalah salah satu anggota Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin).


Dari data penghitungan suara sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin (19/2/2024) pukul 20.00 WIB, pasangan Anies-Muhaimin memperoleh 24,25 persen atau 23,349,874 suara.


Sedangkan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memperoleh 58,6 persen, atau 56, 424, 389 suara.


Sementara Ganjar-Mahfud memperoleh 17,14 persen atau 16,505,228 suara.


Di sisi lain, posisi PDI-P dan PKS dalam 2 periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sangat bertolak belakang.


Ketika PDI-P adalah sebagai partai penguasa selama 2 periode kepemimpinan Jokowi, PKS menjadi oposisi selama 1 dasawarsa.


Akan tetapi, manuver politik Presiden Jokowi menjelang Pemilu 2024, ditambah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat batas usia capres-cawapres yang menjadi celah hukum dan memberi jalan anak sulungnya, Gibran, menjadi cawapres mendampingi Prabowo, membuat hubungannya dengan PDI-P retak.


Menurut pengamat politik Jannus TH Siahaan, jika merunut sejarah, PDI-P pernah menjadi oposisi selama 1 dasawarsa. Tepatnya pada 2 periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).


Jannus mengatakan, dengan melihat peta politik saat ini, kemungkinan PDI-P dan PKS berada dalam satu kubu oposisi sangat terbuka.


"Jadi jika keduanya memilih jalan oposisi setelah pemerintahan baru terbentuk, saya kira, sangat mungkin dan cukup masuk akal," kata Jannus saat dihubungi pada Senin (19/2/2024).


Keberadaan oposisi, kata Jannus, sangat diperlukan sebagai penyeimbang dan kendali terhadap pemerintah atau eksekutif.


Sebab menurut dia, praktik demokrasi yang sehat adalah keseimbangan antara kekuatan oposisi pada legislatif dan eksekutif.


"Di sisi lain, keputusan pihak yang kalah untuk beroposisi sebenarnya diperlukan, terutama untuk menjaga irama demokrasi kita, agar lebih berimbang dan tidak terlalu 'executive heavy'," ujar Jannus.


Akan tetapi, Jannus memberikan catatan soal kesiapan kedua partai itu buat menjadi oposisi. Menurut dia, "kuda-kuda" PDI-P buat menjadi oposisi diperkirakan sudah sangat kuat jika menilik dari hasil Pemilu dan Pilpres.


Apalagi sejumlah wilayah yang selama ini lumbung suara partai berlambang banteng bermoncong putih itu nampak bisa direbut oleh pesaingnya.


"Sementara peluang PDI-P boleh dikatakan sudah 80:20," ucap Jannus.


Di sisi lain, Jannus menggarisbawahi soal kesiapan PKS menjadi oposisi. Sebab menurut dia, ada faktor lain mesti diperhitungkan terkait hal itu yakni soal prinsip dianut partai dan rekam jejak pada Pilpres 2014 dan 2019.


Jannus menyinggung soal kedekatan PKS dan Prabowo. Sebab pada Pilpres 2014 dan 2019, PKS termasuk dalam koalisi pengusung Prabowo. Menurut dia, dalam hal ini motivasi PDI-P buat menjadi oposisi diperkirakan lebih kuat ketimbang PKS.


Dia juga membuka kemungkinan sikap PKS masih bisa beralih jika hasil Pemilu dan Pilpres sudah ditetapkan oleh KPU dan MK.


"Walaupun, saya mengira, potensi beroposisi masih jauh lebih kuat pada PDI-P ketimbang PKS," kata Jannus.


"Sejarah kedekatan PKS dengan Prabowo Subianto tak menutup kemungkinan membuat PKS luluh dan akhirnya masuk ke dalam pemerintahan 02. Artinya, peluang PKS beroposisi masih sekitar 50:50," sambung Jannus.

×