Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Roket China Gagal Terbang, SpaceX Raup Untung di Indonesia

Februari 22, 2024 Last Updated 2024-02-22T08:36:17Z


Ketika satelit Nusantara-2 hancur karena roket China yang membawa satelit senilai 200 juta dollar AS (Rp 3,12 triliun) gagal terbang pada 2020, upaya Indonesia untuk memperkuat jaringan komunikasi terpaksa mengalami kemunduran.


Namun, siapa sangka insiden tersebut justru memberikan ruang bagi Elon Musk untuk meraup untung.


Elon Musk, pemilik SpaceX, menggunakan kegagalan tersebut untuk menyalip badan usaha milik negara (BUMN) asal "Negeri Tirai Bambu", China Great Wall Industry Corp (CGWIC).


Perusahaan peluncur roket terkemuka di dunia itu berhasil menjadi pilihan utama bagi Pemerintah Indonesia untuk mengorbitkan satelit-satelitnya ke luar angkasa.


Perusahaan kontraktor China itu sebelumnya memikat Indonesia dengan tawaran manis berupa pembiayaan yang murah, janji dukungan yang luas untuk ambisi luar angkasa, dan kekuatan geopolitik Beijing. Indonesia sendiri menjadi pasar utama dalam pertumbuhan industri antariksa.


Seorang pejabat senior pemerintah dan dua pejabat industri di Jakarta yang mengetahui masalah itu mengatakan kepada Reuters bahwa kerusakan satelit Nusantara-2 menjadi titik balik bagi Indonesia untuk menjauh dari kontraktor luar angkasa China dan lebih memilih perusahaan milik Musk.


Nusantara-2 adalah peluncuran satelit kedua yang diberikan Indonesia kepada CGWIC, setara dengan jumlah yang dilakukan SpaceX pada saat itu.


Setelah kegagalan tersebut, SpaceX berhasil meluncurkan dua satelit Indonesia. Peluncuran satelit ketiga dijadwalkan akan dilakukan pada Selasa (20/2/2024), sementara di sisi lain China belum menangani peluncuran satelit satu pun.


Menurut temuan Reuters, SpaceX berhasil mengalahkan Beijing dengan memadukan sejumlah faktor, yaitu keandalan peluncuran, penggunaan kembali roket yang lebih murah, dan membangun hubungan personal antara Elon Musk dengan Presiden Joko Widodo.


Setelah pertemuan antara keduanya di Texas pada 2022, SpaceX juga berhasil memperoleh persetujuan peraturan untuk layanan internet satelitnya, Starlink.


Kesepakatan SpaceX menjadi contoh yang jarang terjadi di mana perusahaan Barat berhasil membuat terobosan di Indonesia.


Saat ini, sektor telekomunikasi Nusantara masih didominasi oleh perusahaan China yang menawarkan biaya rendah dan pembiayaan mudah.


Keberhasilan SpaceX terjadi setelah Indonesia menolak tekanan dari Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan perjanjiannya dengan Huawei, raksasa teknologi China, karena alasan ketergantungannya pada teknologi Beijing.


Sekelumit perubahan peta telekomunikasi Indonesia yang dijelaskan kepada Reuters oleh banyak orang, termasuk sejumlah pejabat di Tanah Air dan AS, pelaku industri dan analis tersebut, belum pernah dilaporkan sebelumnya. Beberapa narasumber berbicara dengan syarat anonim karena tidak berwenang berbicara kepada media.


“SpaceX tidak pernah gagal dalam meluncurkan satelit kami,” kata Sri Sanggrama Aradea, Kepala Divisi Infrastruktur Satelit di BAKTI, sebuah lembaga di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.


Peristiwa kegagalan pada April 2020 membuat Jakarta berada di posisi “sulit” untuk kembali beralih ke CGWIC, tambahnya.


SpaceX, CGWIC, dan Pasifik Satelit Nusantara—pemegang saham utama proyek Nusantara-2—tidak menanggapi pertanyaan Reuters.


Kementerian Luar Negeri China menanggapi pertanyaan Reuters dengan mengatakan, “Perusahaan dirgantara China melanjutkan kerja sama luar angkasa mereka dengan Indonesia dalam berbagai bentuk.” Pernyataan itu tidak menjelaskan lebih lanjut.


Juru bicara Kantor Kepresidenan Ari Dwipayana mengatakan, pemerintah memprioritaskan teknologi yang efisien dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat ketika memberikan kontrak.


Perselisihan antara SpaceX dan China menawarkan peluang menuju pertarungan yang lebih besar untuk mendominasi industri luar angkasa yang berkembang pesat.


Pasar satelit global—termasuk manufaktur, jasa, dan peluncuran—bernilai 281 miliar dollar AS (Rp 4,39 kuadriliun) pada 2022, atau 73 persen dari seluruh bisnis luar angkasa, menurut konsultan AS BryceTech.


China meluncurkan rekor 67 roket pada tahun lalu, dari 223 roket yang diluncurkan secara global, menurut laporan profesor Harvard dan pelacak orbital Jonathan McDowell. Sebagian besar diluncurkan oleh CGWIC.


Hal tersebut menempatkan China di posisi kedua setelah AS dalam hal jumlah peluncuran. AS melakukan 109 peluncuran yang mana sebanyak 90 persen dilakukan oleh SpaceX, demikian menurut laporan tersebut.


Washington dan Beijing juga bersaing dalam jaringan komunikasi berbasis satelit.


Layanan internet satelit Starlink milik SpaceX, yang mengendalikan sekitar 60 persen dari total sekitar 7.500 satelit yang beredar di orbit, mendominasi pasar internet satelit.


Namun, pada tahun terakhir, China memulai peluncuran satelit untuk mega-konstelasi broadband pesaingnya, yaitu Guowang.


Pejabat militer AS menyatakan bahwa China berencana memanfaatkan satelit dan teknologi luar angkasa untuk melakukan pengintaian terhadap lawan-lawannya dan meningkatkan kemampuan militer.


Kementerian Luar Negeri China mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada Reuters menepis tudingan itu.


Mereka mengatakan, tuduhan AS adalah sebuah fitnah dan bahwa Washington menggunakan kekhawatiran tersebut sebagai alasan untuk memperluas pengaruhnya di luar angkasa.


Berbeda dengan mitranya di China, NASA terutama mengandalkan roket milik swasta dari perusahaan seperti SpaceX, yang memiliki kontrak pemerintah AS senilai miliaran dolar.


Namun, pemerintah dan militer AS khawatir sangat bergantung pada SpaceX, terutama mengingat gaya bisnis Musk yang agresif, menurut seorang pejabat AS dan mantan pejabat AS yang menangani kebijakan luar angkasa.


Meskipun kontraktor pertahanan AS seperti Boeing dan Lockheed Martin biasanya berkonsultasi dengan Departemen Luar Negeri sebelum membuat kesepakatan luar negeri, Musk dan SpaceX berhubungan langsung dengan Jakarta, kata kedua pejabat tersebut.


Namun, kesepakatan Musk menentang tren yang sudah berlangsung lama bahwa perusahaan-perusahaan Barat kalah dari perusahaan-perusahaan China di Indonesia.


Jokowi mengatakan pada Oktober bahwa Beijing akan menjadi investor asing langsung terbesar di Indonesia dalam waktu dua tahun, melampaui Singapura.


Perusahaan-perusahaan China mendominasi pasar internet dan 5G, sehingga Beijing adalah mitra yang jelas dalam peluncuran satelit hingga insiden 2020, kata Andry Satrio Nugroho, ekonom di lembaga kajian Institute for Development of Economics and Finance yang berbasis di Jakarta.


"Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan China di banyak sektor. Sulit untuk melawan dominasi China, " ujarnya.


×