Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Dilema Vietnam, negara komunis yang sukses di dunia internasional

Maret 18, 2024 Last Updated 2024-03-18T06:08:00Z


Saat bicara tentang negara-negara yang sedang naik daun, bisa dibilang Vietnam memang sedang menyita banyak perhatian. Dikenal punya masa lalu tersembunyi dan jajaran pemimpin yang tidak dikenal di seluruh dunia, Vietnam saat ini menjadi kembang desa bagi negara lain.


Tahun lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden dan pemimpin China Xi Jinping berkunjung ke negara ini.


AS meningkatkan hubungannya dengan Vietnam ke level tertinggi dengan apa yang disebut sebagai "mitra strategis yang luas".


Vietnam telah menyepakati 18 perjanjian perdagangan bebas yang sudah ada, maupun yang masih dalam perencanaan.


Kerjasama mereka diperlukan pada isu perubahan iklim, ketahanan rantai pasok atau kesiapsiagaan dalam pandemi, dan lainnya.


Negara ini dipandang sebagai pemain regional yang penting dalam eskalasi persaingan antara China dan AS dalam isu Laut China Selatan terkait sengketa klaim atas sejumlah pulau; dan Vietnam sebagai negara alternatif terbaik selain China untuk melakukan alihdaya manufaktur.


Tapi yang tidak berubah dari Vietnam adalah tangan besi yang digunakan Partai Komunis dalam mempertahankan kekuasaan dan mengendalikan segala bentuk ekspresi politik.


Was-was dari pengaruh asing


Vietnam adalah satu dari lima negara komunis yang menganut satu partai di dunia.


Oposisi tidak diberi ruang dalam politik. Para pembangkang sering kali dipenjara, dan tekanan dari pemerintah menjadi lebih kejam terjadi dalam beberapa tahun terakhir.


Keputusan politik di tingkat elit partai kerap diselimuti kerahasiaan.


Bagaimanapun, sebuah dokumen internal yang bocor beberapa pekan lalu dari Politbiro Komite Pusat – badan legislasi tertinggi Vietnam – menunjukkan isyarat sikap para elit tertinggi partai mengenai hubungan negara dengan mitra internasional.


Dokumen yang dikenal sebagai Instruksi 24 ini diperoleh dari Project88 – sebuah organisasi hak asasi manusia yang fokus pada Vietnam. Sejumlah referensi dari publikasi partai menunjukkan dokumen tersebut asli.


Instruksi itu dikeluarkan oleh Politbiro pada Juli tahun lalu, dan berisi peringatan keras mengenai ancaman kemanan nasional dari "kekuatan musuh dan reaksioner" yang masuk ke Vietnam melalui hubungan internasional yang berkembang.


Menurut Instruksi 24, pihak asing "akan meningkatkan aktivitas sabotase dan tranformasi politik internal... membentuk sekutu dan jaringan dengan 'masyarakat sipil', 'serikat buruh yang independen', menciptakan alasan untuk membentuk kelompok politik oposisi internal."


Dokumen ini menggambarkan desakan kepada pejabat partai di semua tingkatan agar tegas membela diri terhadap pengaruh-pengaruh tersebut.


Laporan dokumen internal ini juga berisi peringatan bahwa, meskipun Vietnam telah mencapai keberhasilan ekonomi yang nyata, namun "keamanan ekonomi, keuangan, mata uang, investasi asing, energi, dan lapangan kerja" masih belum kuat. Dan, terdapat risiko laten berupa ketergantungan asing, manipulasi, pengambilalihan "area-area sensitif" tertentu.


Ini adalah kata-kata peringatan yang memuat kekhawatiran. Ungkapan yang tidak pernah keluar dari pemerintah Vietnam ke publik sebelumnya. Begitu risau.


Lalu apa artinya ini?


Peningkatan kewaspadaan


Bent Swanton, salah satu direktur Project88, meyakini Instruksi 24 menandai dimulainya tindakan lebih keras terhadap aktivis HAM dan kelompok masyarakat sipil.


Dia mengutip bagian akhir dokumen tersebut yang berisi sembilan instruksi kepada para pejabat partai, termasuk memantau media sosial untuk melawan "propaganda palsu", "tidak mengizinkan pembentukan organisasi politik independen", dan waspada terhadap orang-orang yang mengambil keuntungan dari meningkatnya kontak dengan lembaga-lembaga internasional untuk memprovokasi "revolusi warna" dan "revolusi jalanan".


"Kedok mereka sudah terbuka," kata Ben Swanton. "Para pemimpin Vietnam mengkomunikasikan bahwa mereka berniat melanggar HAM sebagai masalah politik."


Namun, tidak semua sepakat dengan pendapat ini.


"Instruksi 24 bukan merupakan tanda gelombang baru penindasan domestik terhadap masyarakat sipil dan aktivis pro-demokrasi, tetapi lebih kepada hal yang sama," kata Carlyle Thayer, Profesor Emeritus Politik di University of New South Wales di Australia dan seorang ahli yang diakui di bidang Vietnam.


"Yaitu, penindasan yang terus berlanjut terhadap para aktivis ini," tegasnya.


Thayer menunjuk waktu penerbitan instruksi tersebut, tepat setelah AS dan Vietnam menyetujui hubungan tingkat tinggi, dan hanya dua bulan sebelum kunjungan Presiden Biden.


Ini merupakan keputusan yang sangat penting, katanya. Sebaliknya, instruksi ini juga didorong ketakutan partai bahwa dampak pandemi Covid dan perlambatan ekonomi di China bisa menghambat Vietnam menjadi negara maju dan berpenghasilan tinggi pada 2045.


Vietnam membutuhkan hubungan yang lebih dekat dengan AS untuk membawa pertumbuhan ekonominya ke tingkat berikutnya.


Namun, unsur-unsur garis keras di dalam partai khawatir bahwa AS pasti akan mendorong sentimen pro-demokrasi di Vietnam dan mengancam monopoli partai atas kekuasaan.


Thayer percaya bahwa bahasa agresif yang digunakan dalam Instruksi 24 dimaksudkan untuk meyakinkan kelompok garis keras bahwa hal ini tidak akan terjadi.


Menurutnya, keputusan yang dibubuhi tanda tangan pribadi dari Sekretaris Jenderal Nguyen Phu Trong, yang bukan hanya tokoh politik paling berkuasa di Vietnam tetapi juga seorang ideolog komunis yang terkenal, memiliki maksud yang sama.


Dilema para pemimpin


Apa yang digambarkan dengan jelas dalam Instruksi 24 adalah dilema yang dihadapi para pemimpin komunis Vietnam - saat negara mereka menjadi pusat manufaktur dan perdagangan global.


Vietnam tidak cukup besar untuk mengambil langkah seperti China: mengisolasi diri secara ketat di dalam "tembok api besar" yang mereka bangun sendiri.


Platform media sosial seperti Facebook masih mudah diakses di Vietnam. Negara ini butuh investasi asing dan teknologi, untuk terus berkembang pesat, dan tidak bisa memutuskan hubungan dari dunia luar.


Beberapa perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani Vietnam, seperti yang telah ditandatangani dengan Uni Eropa pada tahun 2020, memiliki klausul hak asasi manusia dan hak-hak buruh.


Vietnam juga telah meratifikasi beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO), meskipun bukan konvensi yang mensyaratkan kebebasan berkumpul.


Namun, Instruksi 24 menunjukkan keengganan untuk menghormati klausul-klausul tersebut.


Di dalamnya, partai menuntut batasan-batasan secara gamblang tentang operasi serikat pekerja independen, memerintahkan elit partai untuk "secara ketat memandu pendirian organisasi-organisasi buruh; mengambil inisiatif ketika berpartisipasi dalam konvensi-konvensi ILO yang melindungi kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi", memastikan kelangsungan kepemimpinan partai, kepemimpinan sel-sel partai dan administrasi pemerintahan di semua tingkatan.


Dengan kata lain, "ya" untuk kerja sama dengan ILO, dan "tidak" untuk beroperasinya serikat pekerja yang tidak bisa dikendalikan oleh partai.


Ben Swanton berpendapat bahwa Instruksi 24 memberi sinyal kepada mitra potensial Vietnam di Barat, bahwa perjanjiannya tentang hak asasi manusia dan hak-hak buruh seperti mengaburkan sesuatu yang memalukan.


Mereka menutupi perjanjian itu dengan sistem politik yang tidak mampu menghormati hak-hak individu.


Ia juga mempertanyakan: kelompok masyarakat sipil mana yang akan diizinkan untuk mengawasi kesepakatan perdagangan bebas ini di saat enam aktivis lingkungan dipenjara dengan tuduhan palsu, dan pada saat yang bersamaan, Vietnam baru saja menandatangani kerjasama transisi energi besar-besaran dengan pemerintah negara-negara Barat?


Memang ada suatu masa, beberapa dekade yang lalu, ketika beberapa orang berpikir bahwa negara-negara satu partai Marxis-Leninis akan menjadi masa depan, membawa modernitas, kemajuan, dan keadilan ekonomi bagi masyarakat termiskin di dunia.


Namun hari ini, mereka adalah anomali sejarah.


Bahkan China adalah model politik bagi sebagian orang, terlepas dari kekaguman atas keberhasilan ekonominya.


Para pemimpin Vietnam berharap untuk mencapai sesuatu yang mirip dengan trik sulap: mempertahankan kontrol ketat yang telah lama mereka lakukan terhadap kehidupan rakyat mereka.


Di sisi lain, mengekspos masyarakat pada ide-ide dan inspirasi dari luar, dengan harapan bahwa mereka dapat menjaga agar ekonomi tetap berkembang.

×