Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional sebagai dasar untuk menentukan perolehan kursi di parlemen.
Perludem berpendapat ketentuan ambang batas tersebut menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
MK menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
MK juga sependapat dengan sejumlah dalil yang diajukan oleh Perludem, dan memerintahkan untuk mengubah ketentuan ambang batas tersebut melalui revisi UU Pemilu.
Revisi tersebut sebaiknya juga dirampungkan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029.
Namun, ketentuan Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu yang mengatur ambang batas parlemen 4 persen tersebut masih konstitusional untuk menyelesaikan tahapan penyelenggaraan Pemilu DPR 2024.
Ambang batas parlemen tidak bisa lagi diberlakukan di Pemilu 2029.
”Sebagai konsekuensi yuridisnya, norma Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang masih tetap diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2024 dan tidak diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya kecuali setelah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra, Kamis (29/2/2024), saat membacakan pertimbangan putusan perkara 116/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Saldi Isra berpendapat perubahan ambang batas parlemen perlu segera dilakukan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh sejumlah hal, seperti didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.
Perubahan norma ambang batas parlemen, termasuk besaran angka atau persentase ambang batas, juga harus diputuskan dengan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional.
Hal itu, kata dia, penting dilakukan untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Perubahan ketentuan ambang batas tersebut, lanjut Saldi, juga harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik.
”Dan, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR,” tutur Saldi.
Pihak MK juga sependapat dengan dalil Perludem, bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai.
Namun, MK tidak mengabulkan cara penghitungan ambang batas parlemen yang diajukan oleh Perludem.
Sebab, hal itu merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk merumuskannya lebih lanjut, termasuk menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.
Dalam gugatannya, Perludem meminta MK menyatakan penghitungan ambang batas dilakukan dengan cara membagi bilangan 75 persen dengan rata-rata daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan.
Permintaan lain adalah, dalam hal hasil bagi besaran ambang batas parlemen itu menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan.