Sejumlah ekonom berpandangan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Salah satu indikatornya adalah daya beli masyarakat yang sedang tertekan.
Sederet pertanda daya beli warga menurun muncul dalam sejumlah data-data ekonomi terbaru. Mulai dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang melemah hingga penjualan di sejumlah sektor industri yang turun.
Berikut ini merupakan tanda-tanda masyarakat tengah mempererat tali pinggangnya.
Indeks Keyakinan Konsumen
Indeks Keyakinan Konsumen pada Mei 2024 turun menjadi 125,2, dari posisi April 2024 di level 125,2. Indeks ini mengukur keyakinan konsumen Indonesia mengenai kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi konsumen dalam periode yang akan datang.
"Pelemahan daya beli terlihat dari data IKK itu," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty.
Telisa mengatakan data IKK terbaru menunjukan seluruh kelompok pengeluaran masyarakat mengalami penurunan indeks. Diikuti anomali berupa tabungan konsumen yang ikut turun. Dia mengatakan hal itu menunjukkan pendapatan masyarakat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Adapun optimisme konsumen yang turun terjadi di semua pengeluaran mulai dari pengeluaran Rp 1-2 juta per bulan, hingga di atas Rp 5 juta per bulan. Sementara itu, data untuk persentase tabungan terhadap pendapatan mulai terus menurun. Pada April 2024 persentasenya sebesar 16,7%, namun pada Mei 2024 menjadi haya 16,6%.
Demikian juga untuk data porsi konsumsi terhadap pendapatan yang turun. Pada April 2024 masih sebesar 73,6%, namun pada Mei 2024 menjadi 73%. Di sisi lain, komposisi cicilan pinjaman terhadap pendapatan masyarakat malah naik dari posisi April 2024 9,7% menjadi 10,3%, berdasarkan data dalam IKK BI.
"Sekarang itu baik konsumsi maupun tabungan dua-duanya turun. Artinya itu adalah income-nya turun dan cicilan pinjamannya meningkat," kata Telisa.
Deflasi Beruntun
Penurunan daya beli masyarakat pada akhirnya berpengaruh pada terjadinya deflasi. Badan Pusat Statistik melaporkan Indonesia telah mengalami deflasi selama dua bulan beruntun, yaitu pada Mei dan Juni 2024.
Data BPS menunjukkan indeks harga konsumen atau IHK mengalami deflasi sebesar 0,08% secara bulanan atau month to month (mtm). Data ini turun makin dalam bila dibandingkan deflasi per Mei 2024 yang sebesar 0,03% mtm.
"Yang menjadi kekhawatiran daya beli yang menunjukkan kerentanan dalam hal ini. Jadi deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun," kata Ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati.
Penjualan Anjlok
Pelemahan daya beli masyarakat juga terlihat dari anjloknya pembelian barang-barang berdaya tahan lama atau durable goods, seperti mobil. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan wholesales atau penjualan dari pabrik ke dealer sepanjang Januari-Mei 2024 hanya sebanyak 334.969 unit. Angka tersebut jeblok 21% year on year (YoY) dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni dengan penjualan 423.771 unit.
Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto mengatakan pemerintah perlu mencari solusi atas anjloknya penjualan mobil ini. Dia mengatakan salah satu opsi yang bisa ditempuh adalah menurunkan pajak.
"Dengan menurunkan pajak-pajak tertentu maka harga jual kendaraan bermotor kita bisa turun, dengan harga turun tadi, maka daya beli masyarakat yang tadi melemah, masih sanggup membeli,," kata Jongkie.
Ritel Banyak Tutup
Melemahnya daya beli juga terlihat dari fenomena sejumlah ritel modern yang menutup gerainya. Ritel modern seperti Matahari Department Store (Matahari), dikabarkan menutup gerainya yang ada di WTC Serpong dan Mal Balekota Tangerang karena konsumen lebih cenderung membeli barang impor secara daring karena harganya lebih murah.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan toko ritel dalam negeri kesulitan bersaing dengan barang impor murah.
"Iya untuk Matahari problemnya banyak, barang impor yang masuk Indonesia tanpa bayar pajak, SNI dan sebagainya, itu berat. Jadi kuncinya pengetatan pembatasan untuk barang-barang yang ilegal impor supaya pabrik-pabrik yang membuat barangnya di Indonesia bisa bertahan," kata Budihardjo.
Selain karena gempuran barang impor, dia mengatakan Matahari dan toko ritel lainnya juga kesulitan menjual barang bermerek. Selain karena impor, dia mengatakan hal itu disebabkan karena keberadaan toko online.
"Untuk toko-toko branded yang sudah taat pajak seharusnya dipermudah, sementara barang impor ilegal yang tidak taat pajak harus lebih diawasi," kata dia. {sb}