Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (GRR) kembali memanas setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI) secara resmi mengajukan surat usulan pemakzulan kepada DPR dan MPR.
Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 tertanggal 26 Mei 2025 tersebut diterima pada Senin (2/6/2025) dan memuat sejumlah tuduhan serius, termasuk pelanggaran prinsip hukum, etika publik, konflik kepentingan, hingga dugaan keterkaitan dengan akun KasKus FufuFafa yang dikenal menyebarkan konten tidak pantas.
Kini, desakan tersebut semakin menguat setelah viralnya tangkapan layar akun Instagram resmi Gibran, @gibran_rakabuming, yang diketahui mengikuti akun judi online (JudOl).
Berdasarkan informasi yang beredar, akun tersebut termasuk @bang_jabrik.game, @raffjokiin_, dan @solutip8, yang mempromosikan konten judi online—kegiatan yang jelas melanggar hukum di Indonesia. Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) telah memberikan klarifikasi pada Rabu (4/6/2025), menyatakan bahwa akun @bang_jabrik.game telah diikuti sejak November 2022, sebelum berubah menjadi akun JudOl, dan kini telah di-unfollow serta dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk diblokir.
Surat FPPTNI yang ditandatangani oleh empat purnawirawan TNI, yaitu Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, juga menyoroti proses pencalonan Gibran yang dinilai cacat hukum.
Mereka merujuk pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah batas usia capres-cawapres, yang diputuskan oleh Ketua MK Anwar Usman—paman Gibran—dan dianggap melanggar kode etik hakim. Selain itu, surat tersebut menyinggung dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan keluarga Gibran, termasuk laporan Dr. Ubedilah Badrun ke KPK pada 2022 terkait bisnis kuliner yang diduga melibatkan suntikan dana tidak wajar.
Tanggapan Roy Suryo
Roy Suryo, seorang pemerhati telematika dan multimedia, menilai kasus ini sebagai puncak gunung es yang memperkuat alasan pemakzulan. “Akun Instagram resmi Wapres yang mengikuti akun JudOl adalah bukti nyata tindakan tercela. Ini bukan lagi soal etika, tapi pelanggaran hukum yang jelas,” ujar Roy Suryo dalam pernyataannya pada Rabu (4/6/2025).
Ia juga menyoroti kasus akun FufuFafa yang menurutnya telah terbukti 99,9% terkait dengan Gibran, dengan dukungan data dari investigasi Anonymous Indonesia dan konfirmasi BSSN melalui tayangan Bocor Alus di Youtube.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona. Ia menegaskan bahwa proses pemakzulan harus didasarkan pada bukti hukum yang kuat, bukan hanya tekanan politik. “Tuduhan seperti akun FufuFafa atau dugaan KKN harus dibuktikan melalui jalur hukum, seperti panitia angket DPR atau gugatan ke PTUN. Tanpa itu, pemakzulan sulit dilakukan,” jelas Yance pada 30 April 2025.
Sementara itu, Mahfud MD, mantan Menkopolhukam, dalam wawancara di acara Gaspol di Youtube pada 9 Mei 2025, menyebut bahwa meskipun secara teori pemakzulan memungkinkan, praktiknya sangat sulit. “Koalisi Prabowo-Gibran menguasai 80% kursi parlemen. Prosesnya membutuhkan dukungan 2/3 anggota DPR dan persetujuan MPR, yang hampir mustahil tercapai,” ungkapnya.
Di sisi lain, Sekjen DPR RI Indra Iskandar membenarkan bahwa surat FPPTNI telah diterima dan diteruskan ke pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai prosedur. “Kami sudah menerima surat tersebut pada 2 Juni 2025 dan telah diserahkan ke pimpinan,” ujar Indra pada 3 Juni 2025.
Tanggapan Publik
Kasus ini memicu reaksi keras dari publik, terutama di media sosial. Tagar #MakzulkanFufufafa kembali ramai diperbincangkan, mencerminkan ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap Gibran. Namun, Ketua MPR Ahmad Muzani pada 11 Mei 2025 menegaskan bahwa Gibran adalah wapres yang sah secara konstitusional, merujuk pada kemenangan Pilpres 2024 yang telah ditetapkan KPU.
Meski demikian, desakan pemakzulan terus bergulir, dengan FPPTNI menyatakan kesiapannya untuk menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR. Apakah isu ini akan berlanjut ke proses hukum formal atau hanya menjadi tekanan politik, masih menjadi tanda tanya besar di tengah dinamika politik Indonesia yang kian memanas.