Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Fenomena menabung di Bank mulai ditinggalkan

Juni 26, 2025 Last Updated 2025-06-26T04:45:16Z

Pernahkan kita bepikir dan bertanya? kemana larinya dana simpanan masyarakant yang disimpan di Bank, baik Bank Umum ataupun Bank Perkreditan Rakyat?


Dahulu menabung di bank adalah langkah utama yang dilakukan siapapun. Misalnya saya sendiri, sebagai bagian dari Gen Milenial yamg dulunya selalu terpapar dengan arahan orangtua bahwa kalau ada uang lebih baiknya ya ditabung.  Dan menabung yang paling baik dan aman adalah ditabung di Bank misalnya dalam bentuk rekening giro atau deposito. 


Namun dalam beberapa tahun terakhir, data menunjukkan tren yang cukup mencengangkan. Jumlah tabungan masyarakat di bank cenderung stagnan bahkan menurun bila dilihat dari pertumbuhan saldo rata-rata rekening. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dari tabungan di berbagai jenis bank, baik konvensional, syariah hingga Bank Perkreditan Rakyat (BPR), mengalami perlambatan. Data Statistik uang beredar Bank Indonesia (2023) dan Statistik Perbankan Indonesia OJK (2023) memperlihatkan bagaimana pertumbuhan tabungan masyarakat tidak lagi sepesat sebelum pandemi. Bahkan di BPR, pertumbuhan DPK pada tahun 2023 hanya sekitar 7,5% secara tahunan, jauh menurun dibandingkan dekade sebelumnya yang kerap mencatatkan pertumbuhan dua digit. 


Ada banyak alasan di balik menurunnya angka tabungan di bank. Salah satunya adalah perubahan gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda atau Gen Z, yang kini mendominasi kelompok usia produktif di Indonesia. Gen Z tumbuh dan berkembang di era digital, di mana kemudahan berbelanja online, layanan paylater, dan promo dari berbagai platform e-commerce begitu menggoda. Survei BPS dan laporan dari sejumlah penyedia e-wallet di tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen Gen Z memilih mengalokasikan uangnya untuk pengalaman seperti traveling, kuliner, atau hiburan, dibanding menumpuk saldo di rekening tabungan. Mereka bukan tidak peduli pada masa depan, hanya saja cara mereka mengelola keuangan jauh lebih dinamis, lebih eksploratif, dan tidak terjebak pada pola lama.


Fenomena ini juga tidak lepas dari konteks bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibanding penduduk usia nonproduktif, yang seharusnya menjadi peluang emas bagi perekonomian. Namun, tanpa kebiasaan menabung dan mengelola keuangan secara bijak, bonus demografi ini bisa menjadi sia-sia. Hal lain yang tak kalah penting adalah kondisi pendapatan masyarakat yang tidak stabil. Banyak pekerja muda kini berprofesi sebagai freelancer, gig worker, atau pekerja informal. Pendapatan mereka fluktuatif, membuat mereka kesulitan menabung secara rutin. Dalam banyak kasus, tabungan yang ada justru habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari atau menghadapi kondisi darurat.


Namun, menurunnya tabungan di bank juga mencerminkan meningkatnya literasi dan keberanian masyarakat dalam mengelola uang secara lebih produktif. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK tahun 2022 mencatat bahwa literasi keuangan masyarakat Indonesia naik dari 38 persen pada 2019 menjadi 49,68 persen pada 2022. Banyak orang kini sadar bahwa menyimpan uang di tabungan memang aman, tetapi kurang memberikan imbal hasil. Mereka mulai beralih menaruh uang di instrumen seperti reksadana, saham, Surat Utang Negara (SUN), hingga aset digital. Apalagi, pemerintah secara aktif menerbitkan SUN dan SBN ritel dengan imbal hasil kompetitif, mencapai 6 hingga 7 persen per tahun. Angka ini jauh lebih menarik dibanding bunga tabungan yang rata-rata di bawah 1 persen per tahun, atau bunga deposito yang hanya berkisar 3 hingga 4 persen. Tidak heran jika masyarakat, terutama kelas menengah, memilih mengalihkan sebagian besar dana mereka ke surat utang negara yang aman, dijamin pemerintah, dan lebih menguntungkan.


Dampak dari fenomena ini cukup besar terhadap fungsi perbankan, khususnya dalam hal penyaluran kredit ke sektor riil. Selama ini, bank mengandalkan dana murah seperti tabungan dan giro untuk menyalurkan kredit dengan bunga kompetitif. Ketika tabungan menurun, bank harus mencari sumber dana lain, biasanya dari deposito atau pasar uang, yang bunganya lebih mahal. Akibatnya, biaya dana atau cost of fund bank naik, dan ini mendorong bunga kredit ikut meningkat. Kredit ke sektor produktif seperti UMKM, pertanian, dan usaha kecil lainnya pun menjadi lebih sulit dijangkau karena bunganya lebih tinggi. Bank menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit, dan akhirnya ekspansi ke sektor-sektor yang seharusnya menjadi motor ekonomi rakyat pun melambat. Hal ini terjadi baik di bank konvensional, bank syariah, maupun BPR. Bank syariah menghadapi tantangan dalam penghimpunan dana wadiah dan mudharabah, yang berdampak pada terbatasnya pembiayaan mikro. Sementara itu, BPR yang selama ini mengandalkan dana masyarakat lokal makin sulit bersaing dengan fintech lending yang menawarkan pinjaman mikro dengan proses lebih cepat dan bunga yang kompetitif.


Ke depan, fenomena ini diperkirakan akan terus berlanjut. Pergeseran dana dari tabungan konvensional ke instrumen investasi digital akan semakin besar. Reksadana, SUN, saham, dan produk tabungan hybrid dengan fitur investasi akan semakin diminati masyarakat. Bank perlu berinovasi, tidak cukup hanya menawarkan produk tabungan biasa, tetapi harus mampu menyediakan produk yang memberi nilai tambah. Tanpa inovasi, bank berisiko kehilangan relevansi di mata masyarakat. Selain itu, jika tren ini terus berlanjut tanpa adanya penyeimbang berupa kebijakan publik, sektor produktif akan kesulitan mengakses kredit murah. Pertumbuhan ekonomi bisa terhambat jika akses permodalan sektor riil semakin sulit. Pemerintah, BI, dan OJK perlu hadir dengan insentif, regulasi, atau skema pendukung agar bank tetap bisa menyalurkan kredit yang sehat dan terjangkau.


Pada akhirnya, penurunan jumlah tabungan di bank bukan semata soal saldo yang berkurang. Ini adalah refleksi dari perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola uang. Gaya hidup, literasi keuangan, kemajuan teknologi, hingga kebijakan negara turut membentuk tren ini. Tantangan kita bersama adalah memastikan perubahan ini mengarah ke hal yang positif, agar dana masyarakat tetap mampu menggerakkan roda ekonomi dan membawa kesejahteraan bersama.

×