Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dilaporkan meninggal dunia di Jepang setelah diduga mengalami keracunan akibat mengonsumsi kentang bertunas.
Kabar ini menjadi sorotan publik setelah kasus tersebut viral di media sosial dan memicu kekhawatiran soal keamanan makanan sehari-hari.
Menanggapi hal ini, dr. Santi, Health Management Specialist Corporate HR Kompas Gramedia, menjelaskan bahwa kentang yang bertunas memang dapat membahayakan kesehatan karena mengandung racun alami. Penjelasan tersebut disampaikan kepada Kompas.com pada Senin (9/6/2025).
Kentang yang telah bertunas, apalagi disimpan dalam waktu lama atau berwarna kehijauan, diketahui mengandung senyawa glikoalkaloid seperti solanin dan chaconine.
Zat ini bisa menimbulkan berbagai gejala keracunan, bahkan dalam kasus ekstrem dapat berakibat fatal.
Berikut penjelasan lengkap tentang risiko dan bahaya kentang bertunas bagi kesehatan.
Racun alami di kentang bertunas
Menurut Santi, glikoalkaloid seperti solanin dan chaconine adalah racun alami yang terkandung dalam tumbuhan dari keluarga Solanaceae, termasuk kentang. Kadar racun ini meningkat ketika kentang bertunas atau berubah warna menjadi hijau.
“Chaconine memiliki efek serupa dengan solanin, tetapi juga dapat merusak membran sel dan menimbulkan reaksi peradangan,” jelasnya.
Tidak semua orang akan langsung mengalami gejala keracunan setelah makan kentang bertunas.
Namun, risiko akan meningkat jika dikonsumsi dalam jumlah besar, oleh kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, atau mereka yang memiliki gangguan imun, serta jika disajikan dengan cara yang kurang tepat.
Memasak kentang bertunas dengan suhu tinggi seperti digoreng atau dipanggang dapat mengurangi kadar racun lebih baik dibandingkan hanya direbus.
Selain itu, konsumsi kuah dari masakan berbahan kentang bertunas juga berisiko karena racun dapat larut ke dalam kuah.
Gejala keracunan kentang bertunas dan pertolongan pertama
Gejala keracunan akibat glikoalkaloid dapat muncul dalam hitungan beberapa jam hingga 24 jam setelah konsumsi.
Gejalanya bervariasi tergantung pada jumlah racun yang masuk, kondisi tubuh individu, serta apakah terdapat konsumsi makanan lain yang juga mengandung glikoalkaloid seperti terong atau tomat hijau.
Gejala ringan umumnya melibatkan sistem pencernaan, seperti:
Mual
Muntah
Sakit perut
Diare
Gejala ini merupakan respons tubuh untuk segera mengeluarkan zat berbahaya yang masuk ke dalam saluran cerna.
Jika gejala ini muncul tak lama setelah makan kentang bertunas, maka besar kemungkinan berkaitan dengan paparan glikoalkaloid.
Sedangkan untuk gejala berat, umumnya melibatkan sistem saraf pusat. Dalam beberapa kasus, pasien mengalami beberapa gejala, seperti:
Sakit kepala hebat
Demam
Kebingungan
Halusinasi
Bahkan, jika tidak segera ditangani, bisa muncul gangguan neurologis seperti pusing berat hingga penurunan kesadaran.
Hal ini terjadi karena racun seperti solanin dan chaconine dapat memengaruhi fungsi sel saraf dan menyebabkan peradangan.
Untuk penanganan pertama, jika gejala masih tergolong ringan, perawatan dapat dilakukan di rumah.
Dokter menyarankan untuk memperbanyak minum air putih agar racun dapat dikeluarkan melalui urine.
Konsumsi buah dan sayuran juga dianjurkan karena kandungan seratnya membantu mempercepat proses pembuangan racun lewat buang air besar.
Selain itu, penting untuk menghindari makanan yang bisa memperparah iritasi saluran cerna seperti makanan pedas, asam, atau berlemak.
Sebaiknya pilih makanan yang mudah dicerna seperti bubur, nasi tim, atau pisang. Istirahat yang cukup juga penting untuk mendukung proses pemulihan.
Namun, jika dalam waktu 24 jam kondisi tidak membaik, atau justru memburuk, maka pasien harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan.
Gejala yang menjadi tanda bahaya dan memerlukan penanganan medis segera antara lain:
Muntah dan diare yang terus-menerus
Sakit perut hebat
Gejala neurologis seperti pusing, bingung, atau halusinasi
Gangguan pernapasan
Penurunan kesadaran
Penanganan medis yang cepat dapat mencegah komplikasi serius dan meningkatkan peluang pemulihan total.
Seberapa berbahaya keracunan kentang bertunas?
Santi menjelaskan bahwa tubuh manusia pada dasarnya mampu mengurai dan membuang racun glikoalkaloid melalui hati dan saluran ekskresi.
Oleh karena itu, tidak semua orang yang mengonsumsi kentang bertunas akan langsung mengalami keracunan.
Namun, risiko bisa meningkat jika seseorang memiliki gangguan fungsi hati atau ginjal, atau secara tidak sadar sering mengonsumsi makanan lain yang mengandung zat serupa. Pada kelompok rentan, efek racun bisa terjadi lebih cepat dan lebih berat.
Jika keracunan ditangani dengan cepat dan tepat, pasien umumnya dapat sembuh total tanpa komplikasi.
Sebaliknya, keterlambatan penanganan, terutama pada kasus berat, dapat menyebabkan kerusakan organ hingga kematian, seperti yang dilaporkan pada kasus WNI di Jepang.
Kasus kematian WNI di Jepang setelah makan kentang bertunas menjadi peringatan bagi kita semua agar lebih waspada terhadap makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
Kentang yang tampak biasa saja bisa berubah menjadi sumber racun jika sudah bertunas atau berwarna hijau. Langkah paling aman adalah tidak mengonsumsi kentang dalam kondisi tersebut.
Kenali gejala keracunan sedini mungkin, dan jangan ragu mencari pertolongan medis jika kondisi memburuk. Pencegahan dan kewaspadaan tetap menjadi kunci untuk menjaga kesehatan.