ABU Ubaidah, juru bicara sayap militer Hamas, Brigade al Qassam, Selasa, 8 Juli 2025, menyatakan bahwa operasi terbaru di Beit Hanoun telah memberikan pukulan telak bagi reputasi militer Israel. Ia menekankan, seperti dikutip Al Mayadeen, bahwa pasukan Israel berasumsi bahwa area target telah sepenuhnya dibersihkan setelah kerusakan yang luas, tetapi para pejuang Palestina melancarkan serangan mereka dari reruntuhan, membuat musuh lengah.
Abu Ubaidah memperingatkan bahwa perang atrisi yang sedang berlangsung di Gaza—dari utara ke selatan—akan terus mengakibatkan kerugian harian bagi pasukan Israel dan menyatakan bahwa konfrontasi di masa mendatang dapat mengakibatkan lebih banyak tentara Israel yang ditangkap.
Perang Gerilya Hamas
Operasi Beit Hanoun, yang digambarkan kompleks dan sangat signifikan, mengakibatkan tewasnya lima tentara Israel, termasuk dua perwira, dan melukai 14 lainnya. Serangan tersebut melibatkan peledakan terhadap sebuah kendaraan lapis baja, diikuti oleh serangan rudal anti-tank dan penembakan terhadap pasukan penyelamat. Media Israel mengakui operasi tersebut sebagai salah satu konfrontasi paling serius sejak perang dimulai, menggarisbawahi keberhasilan taktis perlawanan Palestina dalam hal ini.
Ubah waktu luang Anda menjadi keuntungan. Sebuah tren yang berkembang di kalangan lansia Indonesia.
Para pejuang Hamas disebut memanfaatkan informasi intelijen untuk melaksanakan operasi yang berulang dan terorganisir. Operasi tersebut meliputi serangan penembak jitu, tembakan senjata ringan terhadap pasukan Israel, peluncuran rudal serta mortir anti-tank, dan juga peledakan alat peledak jarak jauh yang menargetkan kendaraan militer Israel.
Dalam penilaian keamanan Israel, Hamas berhasil menunjuk komandan lapangan baru dan mengaktifkan jaringan yang mereka sebut sebagai "gerilya militer". Unit-unit ini menerima arahan dari pimpinan pusat yang berada di Kota Gaza dan kamp-kamp utama, kemudian mendistribusikan perintah tersebut ke unit-unit tempur yang beroperasi di lapangan.
Gaza Menjadi “Vietnam” bagi Tentara Israel
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi kritik domestik yang belum pernah terjadi sebelumnya di tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza. Para analis menyamakan situasi Israel dengan "fase Vietnam" — sebuah rawa militer yang berbahaya dan mahal yang ditandai dengan banyaknya korban jiwa dan penipisan sumber daya yang tak henti-hentinya.
Para pengkritik memperingatkan bahwa pendudukan militer penuh di Gaza bisa menjadi kesalahan yang bahkan lebih parah daripada keterlibatan AS di Vietnam, yang berpotensi menyebabkan pertumpahan darah dan kelelahan tanpa akhir tanpa strategi keluar yang jelas.
Dalam sebuah opini yang sangat kritis di Yedioth Ahronoth, seperti dilansir Middle East Monitor, kolumnis Israel Nadav Eyal mempertanyakan nilai pertemuan Netanyahu baru-baru ini dengan Presiden AS Donald Trump, terutama karena semakin banyak keluarga Israel yang berduka atas kehilangan putra mereka yang tewas di Gaza.
Meskipun Washington berulang kali menjamin dukungan, Eyal menyoroti keraguan mendalam tentang strategi keseluruhan Israel, dengan alasan bahwa slogan-slogan seperti "melucuti Hamas" tidak memiliki rencana substantif dan bahwa mencapai tujuan-tujuan ini akan memerlukan pendudukan militer penuh.
Hal ini, ia memperingatkan, akan menjebak Israel dalam "rawa Vietnam" tanpa jalan keluar, terutama karena Israel menolak mengizinkan Otoritas Palestina memerintah Gaza, sehingga hanya menyisakan kendali militer Israel secara langsung sebagai pilihan — sebuah skenario yang ia gambarkan sebagai bencana.
Eyal lebih lanjut menantang narasi pemerintah dengan menyatakan secara gamblang bahwa "Hamas belum dikalahkan," mengutip data militer yang menunjukkan terus berlanjutnya korban jiwa tentara Israel dan penyergapan mematikan baru-baru ini di dekat wilayah perbatasan yang seharusnya aman.
Ia membandingkan kesalahan strategis Israel di Gaza dengan keputusan AS untuk membubarkan tentara Saddam Hussein di Irak, dan memperingatkan bahwa kesalahan semacam itu dapat menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan.
Kampanye Militer yang Berlarut-larut
Menurut Mehmet Rakipoglu, pengajar di Universitas Mardin Artuklu, Turki, perang di Gaza, yang kini telah berlangsung lebih 21 bulan, telah berkembang menjadi konflik yang mengingatkan pada "Vietnam". Operasi militer AS di Vietnam menjadi kampanye yang berlarut-larut dan tidak dapat dimenangkan yang ditandai dengan kesalahan strategi, jangkauan militer yang berlebihan, dan meningkatnya biaya politik.
Dalam artikel opini yang diterbitkan Middle East Eye, Rakipoglu mengatakan, meskipun mendapat dukungan luar biasa dari Barat, termasuk bantuan militer, perlindungan diplomatik, dan bantuan ekonomi, Israel telah gagal menghabisi perlawanan Palestina. Hamas, khususnya, terus beroperasi dan melancarkan serangan-serangan kompleks bahkan di bawah pengepungan dan kehancuran yang parah.
Penyergapan Hamas baru-baru ini di dekat Beit Hanoun, yang melibatkan serangan RPG dan peledakan bom terhadap pasukan Israel, memperlihatkan kelemahan signifikan dalam keamanan zona penyangga Israel dan menantang narasi dominasi Israel.
Hal ini, menurut Rakipoglu, menunjukkan kapasitas Hamas dalam pengumpulan intelijen dan serangan presisi terhadap salah satu tentara yang paling berteknologi maju di dunia, menggarisbawahi ketahanan dan kemampuan beradaptasi perlawanan Palestina.
Perbandingannya dengan Vietnam sangat mencolok: kekuatan senjata yang superior dan dukungan internasional belum menjamin kemenangan melawan pemberontakan yang sangat berkomitmen dan didorong oleh ideologi. Israel menghadapi kampanye yang tidak dapat dimenangkannya secara meyakinkan, terbebani oleh gejolak politik internal, termasuk pengunduran diri pemerintah dan kegagalan intelijen.
Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 mengungkapkan kegagalan kritis dalam aparat keamanan Israel, menggoyahkan kepercayaan pada badan-badan intelijennya dan berkontribusi pada perpecahan internal yang oleh beberapa pengamat disamakan dengan perang saudara.
Fakta yang Disembunyikan
Media Israel telah mengungkap inkonsistensi signifikan dalam angka korban yang dilaporkan. Militer Israel berkali-kali merevisi data kematian dan luka korban menyusul penyergapan mematikan oleh pejuang Perlawanan Palestina di Gaza utara, Senin, 7 Juli 2025, seperti dilansir Al Mayadeen.
Media berita Hadashot B’zman menuduh juru bicara militer Israel sengaja menyembunyikan jumlah kerugian sebenarnya sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk "merekayasa kesadaran publik Israel." Pendekatan ini bertujuan untuk mengecilkan dampak perang terhadap manusia demi menjaga ketahanan masyarakat.
Penyergapan itu sendiri, yang terjadi di Beit Hanoun, sebuah kota yang dibombardir secara besar-besaran sejak Oktober 2023, digambarkan oleh media Israel sebagai salah satu konfrontasi paling serius dan kompleks sejak perang dimulai.
Laporan menunjukkan beberapa tentara terbakar hidup-hidup selama serangan itu, yang menyerupai insiden mematikan serupa pada bulan Juni di mana tujuh tentara Israel tewas. Pejuang Perlawanan Palestina terus melakukan operasi yang efektif, menimbulkan kerugian besar pada pasukan Israel meskipun pengepungan dan blokade.
Media Israel juga mengkritik kegagalan taktis militer yang berulang kali terungkap oleh rekaman yang dirilis oleh Brigade al Qassam. Rekaman tersebut menunjukkan tentara dan kendaraan Israel dibiarkan rentan tanpa perlindungan atau cadangan yang memadai selama penyergapan, yang memicu kecaman keras atas kekurangan kepemimpinan dan intelijen.
Pola kelalaian keamanan ini telah membuat khawatir para komentator Israel, yang mempertanyakan kesiapan tentara dan protokol keselamatan pasukan di tengah permusuhan yang sedang berlangsung. Sementara itu, kelompok-kelompok Perlawanan Palestina, termasuk sayap militer Hamas dan Brigade al Quds, terus menegaskan ketangguhan dan kemampuan mereka untuk menantang kemajuan militer Israel.
Para pejuang Palestina ini menyoroti keberhasilan mereka dalam menghancurkan kendaraan-kendaraan Israel dan melakukan operasi-operasi tingkat tinggi, yang memperkuat pendirian mereka bahwa upaya Israel untuk menghancurkan moral warga Gaza atau membebaskan tawanan dengan paksa telah gagal.