Fenomena munculnya bendera simbol anime one piece masih ramai diperbincangkan jelang HUT RI ke-80 pada 17 Agustus 2025 mendatang.
Ternyata animo masyarakat terkait bendera one piece itu juga terjadi di Ponorogo, Jawa Timur.
Sebuah konter HP yang dijaga oleh perempuan bernama Alia Alma Septiana mendadak jadi sorotan warga sekitar.
Diduga kedapatan mengibarkan bendera simbol anime one piece, sebuah konter di Ponorogo didatangi petugas gabungan.
Konter Handphone Smart Cell di Desa Bulu Kidul, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo tetiba didatangi petugas gabungan TNI-Polri.
Alia Alma Septiana penjaga konter Handphone Smart Cell itu mengaku tidak paham siapa yang memasang bendera di sekitar konternya.
Konter yang dijaga oleh Alia Alma Septiana ini diketahui mengibarkan bendera bermotif bajak laut dari serial anime One Piece.
Kedatangan petugas, meminta pemilik konter handphone menurunkan bendera anime tersebut.
Lantaran ingin menjaga ketertiban menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 80.
Petugas gabungan menindaklanjuti informasi pengibaran sebuah bendera bermotif jolly roger, simbol bajak laut yang terkenal dari serial anime one piece.
Pantauan TribunJatim.com di lokasi, bendera berukuran 70 x 90 centimeter di pasang dalam satu tiang yang sama dengan Bendera Merah Putih.
Dimana bendera One Piece dipasang di bawah Bendera Merah Putih.
“Saya tidak paham yang pasang siapa. Sudah tiga hari ini,” ungkap penjaga konter Handphone, Alia Alma Septiana, Kamis (7/8/2025).
Saat diminta menurunkan bendera, wanita berparas cantik itu tidak keberatan, pun tanpa ada perdebatan.
“Diminta turunkan bendera One Piece ya saya turunkan. Saya turunkan saja,” terang Alma—sapaan akrab—penjaga konter Handphone, Alia Alma Septiana.
Wakapolsek Balong, Ipda Prasetiyanto menjelaskan bahwa penanganan kasus ini hanya sebatas imbauan.
“Moment 17 Agustus adalah moment kemerdekaan Indonesia. Alangkah baiknya mengibarkan bendera Merah Putih. Menjaga ketertiban kami imbau masyarakat tidak mengibarkan bendera,” pungkasnya.
Pengibaran bendera one piece sendiri belakangan dikaitkan dengan bentuk protes sosial di sejumlah daerah.
Simbol fiktif dari budaya populer ini diduga dimaknai sebagai sindiran terhadap kondisi sosial yang ada saat ini. (TribunJatim.com/Pramita Kusumaningrum).
Sebenarnya bagaimana pandangan hukum terkait fenomena yang tengah ramai dibicarakan ini?
Dosen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus Ketua Umum Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Dr. Muktiono, S.H., M.Phil menanggapi soal polemik bendera one piece.
Belakangan ini pengibaran bendera tengkorak ala anime One Piece menjadi polemik dan perbincangan hangat masyarakat Indonesia.
Apalagi pengibaran bendera One Piece tersebut dikibarkan tepat di bawah bendera Indonesia.
Hal ini pun menuai banyak sorotan, termasuk dari sejumlah akademisi.
Dr. Muktiono, S.H., M.Phil, menilai, tindakan tersebut bukanlah pelanggaran hukum maupun HAM.
Menurut Muktiono, pengibaran bendera tersebut merupakan bentuk ekspresi individu atas kecintaan atau kegemaran terhadap suatu hal.
"Tindakan itu saya lihat sebagai bagian dari upaya mencari kebahagiaan (pursuing happiness) yang merupakan hak asasi setiap orang," ujarnya, Selasa (6/8/2025).
Lebih lanjut, Muktiono menjelaskan bahwa ekspresi semacam itu juga bisa dimaknai sebagai sindiran, bentuk protes, atau respon terhadap situasi tertentu.
Ia menekankan bahwa tindakan tersebut sah sejauh tidak mengganggu ketertiban umum, tidak merugikan orang lain, dan tidak melanggar hukum yang berlaku.
Dari sisi regulasi, ia menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece tidak melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.
"Tidak ada aturan yang melarang pengibaran bendera seperti itu, selama tidak mengandung pelecehan terhadap simbol negara," jelasnya.
Muktiono pun mengkritisi sikap negara yang dianggapnya terlalu reaktif dalam menyikapi simbol-simbol budaya populer seperti ini.
Ia mengingatkan agar kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan semacam ini tidak dilakukan tanpa dasar yang kuat.
"Kalau tidak ada ancaman nyata, melarang atau mengkriminalisasi hal seperti ini justru membuang energi negara,"
"Fokus kita seharusnya pada persoalan yang lebih esensial seperti korupsi, perubahan iklim, kemiskinan, ketertinggalan teknologi, serta pendidikan," tandasnya.