Tidak semua orang lahir dalam kondisi finansial yang sama. Ada yang tumbuh di keluarga mapan, ada pula yang besar dalam keterbatasan.
Dilansir dari Geediting, psikologi sosial menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil, khususnya di keluarga kelas menengah ke bawah, dapat membentuk pola pikir dan kebiasaan yang terbawa hingga dewasa.
Meski sebagian orang menganggap keterbatasan sebagai kekurangan, faktanya, banyak kebiasaan dari pengalaman itu justru membentuk daya tahan, strategi hidup, dan karakter yang unik. Mari kita bahas sembilan kebiasaan yang kerap terbawa hingga usia dewasa.
1. Terbiasa Hidup Hemat dan Selektif Mengeluarkan Uang
Anak-anak dari keluarga sederhana sering diajarkan untuk berhitung sebelum membeli sesuatu.
Akibatnya, ketika dewasa mereka lebih hati-hati mengeluarkan uang, bahkan cenderung membandingkan harga sebelum memutuskan.
Hemat bukan hanya kebiasaan, tapi jadi refleks alami yang terbentuk sejak kecil.
2. Kreatif Mencari Solusi dari Keterbatasan
Karena tidak semua keinginan bisa dipenuhi, mereka terbiasa mencari alternatif.
Mainan bisa diganti dengan permainan tradisional, alat sekolah bisa dipakai bergantian.
Kebiasaan ini membuat mereka kreatif mencari jalan keluar ketika menghadapi masalah dalam kehidupan dewasa.
3. Menghargai Hal-Hal Kecil
Segelas es teh manis atau baju baru saat lebaran bisa jadi momen luar biasa di masa kecil.
Itu sebabnya ketika dewasa, mereka lebih mudah merasa puas atas hal-hal sederhana.
Rasa syukur ini menjadi salah satu kekuatan psikologis yang membantu menghadapi tekanan hidup.
4. Rasa Takut Kehilangan yang Lebih Tinggi
Namun, ada sisi lain: hidup dalam keterbatasan menanamkan kekhawatiran berlebihan terhadap kehilangan.
Misalnya takut kehilangan pekerjaan, takut tabungan habis, atau takut gagal.
Ketakutan ini bisa jadi pendorong untuk bekerja keras, tapi juga bisa menimbulkan kecemasan berlebihan.
5. Nilai Kerja Keras yang Tertanam Kuat
“Kalau mau dapat sesuatu, harus kerja keras” adalah kalimat yang sering terdengar di keluarga kelas menengah ke bawah.
Prinsip ini melekat hingga dewasa.
Mereka terbiasa menaruh usaha ekstra untuk mencapai tujuan, karena sadar privilege bukanlah bagian dari hidup mereka.
6. Sifat Tangguh dan Tidak Mudah Menyerah
Kesulitan sejak kecil membuat mental mereka lebih kuat.
Saat orang lain menyerah, mereka cenderung mencoba lagi.
Kebiasaan menghadapi masalah dengan kepala tegak menjadi modal penting saat menghadapi tantangan hidup yang lebih besar.
7. Hubungan Sosial yang Lebih Erat
Di lingkungan sederhana, solidaritas sering jadi andalan.
Anak-anak tumbuh dengan konsep “saling membantu” — entah pinjam barang, gotong royong, atau sekadar berbagi makanan.
Itu sebabnya ketika dewasa, mereka cenderung punya empati tinggi dan mudah berbaur dengan orang lain.
8. Kebiasaan Menyimpan Barang Lama
Karena terbiasa memaksimalkan barang seadanya, orang yang tumbuh di keluarga menengah ke bawah sering sulit melepas barang, meski sudah usang.
Mereka berpikir, “Siapa tahu masih berguna nanti.”
Kebiasaan ini kadang membuat rumah penuh barang, tapi juga menunjukkan sikap tidak boros.
9. Impian yang Lebih Membumi
Daripada bermimpi terlalu tinggi, mereka cenderung menetapkan target realistis: pekerjaan tetap, rumah sederhana, atau pendidikan anak yang lebih baik dari orang tuanya.
Sifat ini membuat mereka fokus pada pencapaian nyata, meski terkadang dianggap kurang ambisius oleh orang lain.
Kesimpulan: Keterbatasan Bukanlah Akhir
Psikologi mengajarkan kita bahwa masa kecil memberi jejak panjang dalam hidup.
Orang yang tumbuh di keluarga kelas menengah ke bawah mungkin membawa kebiasaan hemat, tangguh, dan penuh syukur, meski juga disertai rasa takut kehilangan dan kecenderungan realistis.
Yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari kebiasaan tersebut: mana yang perlu dijaga sebagai kekuatan, dan mana yang perlu diolah agar tidak menghambat perkembangan diri.
Pada akhirnya, keterbatasan bisa menjadi fondasi yang kuat, selama kita mampu memanfaatkannya dengan bijak.