Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Bukti Tidak Ada Luka Penyiksaan pada Jenderal Korban G30S

September 30, 2025 Last Updated 2025-09-30T10:46:20Z



Selama ini, enam jenderal korban G30S kerap digambarkan meninggal akibat penyiksaan.


Narasi tersebut terutama muncul lewat film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer (1984), yang pada masa Orde Baru menjadi tontonan wajib.


Dalam film berdurasi 271 menit itu, para jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diperlihatkan disiksa sebelum dibunuh pada dini hari 1 Oktober 1965.


Sebagian masyarakat kemudian mempercayai film tersebut sebagai representasi nyata peristiwa. Namun, kesaksian dokter forensik dan dokumen otopsi justru menunjukkan hal sebaliknya.


Lantas, bagaimana kesaksian Dr Liauw Yan Siang soal tuduhan penyiksaan pada korban G30S?


Kesaksian dokter forensi


Dimuat dalam buku berjudul Tidak Ada Penyiksaan kepada Enam Jenderal (2015), Dr Liauw Yan Siang bersaksi bahwa dirinya tidak menemukan adanya luka penyiksaan pada jenazah para jenderal korban G30S.


Hal itu disampaikannya tatkala melakukan wawancara dengan penulis buku Alfred D. Ticoalu.


Dr Liauw Yan Siang hanya menemukan adanya luka benda tumpul pada jenazah korban.


"Ya kalau enggak ada luka tusuk, enggak ada luka iris, enggak ada cungkilan-cungkilan apa, mutilasi enggak ada, ya konklusi saya, ya enggak ada juga," kata dia, dikutip dari Kompas.com (2022).


"Hanya yang itu, yang luka tumpul, nah itu saya enggak tahu," imbuh Dr Liauw Yan Siang.


Dia sendiri mengaku, pemberitaan soal para jenderal dianiaya dan disiksa sebelum meninggal dunia itu muncul sebelum otopsi dilakukan pada 4 Oktober 1965.


Untuk meluruskan kabar tersebut, Dr Liauw Yan Siang berkata bahwa Soekarno sempat meminta hasil otopsi sesegera mungkin.


Tujuannya untuk membuktikan agar tuduhan penganiayaan itu tidak benar.


“Bung Karno itu minta ini (laporan oopsi) selekas mungkin. Ingatan saya itu karena adanya berita-berita penganiayaan jenderal-jenderal itu. Makanya dia mau menentang desas-desus ini. Bahwa tidak terjadi penganiayaan," kata dia.


"Entah apa, Karena Bung Karno kan kasih pidato sesudah itu kan. Atau pengumuman, atau pidato. Pokoknya mengatakan bahwa penganiayaan itu nggak ada," imbuh Dr Liauw Yan Siang.


Dokumen otopsi ungkap adanya luka benda tumpul


Senada dengan pernyataan Dr Liauw Yan Siang, dokumen otopsi yang dilampirkan alam jurnal penelitian berjudul "How Did The Generals Die?" karya Ben Anderson juga mengungkap tidak ada luka penyiksaan pada jenazah para jenderal korban G30S.


Ben Anderson adalah sejarawan dan profesor dari Universitas Cornell, Amerika Serikat.


Melalui jurnal penelitiannya, dia melampirkan dokumen hasil otopsi para jenderal yang dibunuh dalam Gerakan 30 September 1965.


Otopsi dilakukan oleh lima ahli kedokteran forensik, yakni Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan.


Hasilnya, tidak ada satu keterangan pun yang menunjukkan adanya tanda-tanda penyiksaan.


Menurut Anderson, para jenderal korban G30S dibunuh dengan dua cara yang berbeda.


Pertama, Jenderal Yani, Pandjaitan, dan Haryono dibunuh dengan cara ditembak mati di rumahnya oleh para penculik.


Kedua, Jenderal Parman, Soeprapto, Sutoyo, serta Letnan Tendean, dihabisi setelah dibawa ke Lubang Buaya.


Dokumen hasil otopsi mengungkap bahwa di tubuh para jenderal terdapat luka tempat dan luka lainnya yang digambarkan akibat trauma benda tumpul.


Dokter otopsi membantah adanya mutilasi yang dilakukan pada mata dan alat kelamin korban seperti yang beredar di pemberitaan.


Mereka mengungkap, hasil otopsi Jenderal S Parman menunjukkan bahwa TNI AD itu meninggal setelah mengalami lima luka tembak, dua di antaranya melesat di kepalanya.


Tidak ada luka penyiksaan yang ditemukan di jenazah Jenderal S Parman.


Luka robek dan patah tulang di kepala, rahang, dan kaki kiri bawah masing-masing disebabkan karena trauma benda tumpul yang berat.


Dipastikan, luka tersebut bukan karena penyiksaan atau adanya besetan oleh pisau lipat atau pisau cukur.


Sementara itu, kerusakan pada tubuh para jenderal korban G30S disebabkan karena kondisi jenazah yang terbaring cukup lama di dasar kubur yang lembab.


Hal ini menyebabkan kondisi mata salah satu korban sangat buruk.


Kondisi jenazah jenderal G30S versi pemerintah Orba


Berbeda dengan hasil otopsi, narasi pemberitaan di masa Orde Baru menyatakan adanya penyiksaan sebelum para jenderal dibunuh.


Dikutip dari Kompas.com (2024), narasi-narasi tersebut muncul pada saat proses evakuasi tujuh korban G30S dari Lubang Buaya.


Pangkostrad Mayjen Soeharto menegaskan bahwa terjadi kebiadaban para pelaku penculikan setelah para jenazah berhasil diangkat.


Meski demikian, dia tidak merinci lebih spesifik.


Di dalam otobiografinya, Soeharto juga kembali menyampaikan adanya penganiayaan terhadap jenderal korban G30S.


Anderson bahkan menemukan berita yang menyatakan bahwa para jenderal mengalami penyiksaan mengerikan sebelum dibunuh.


Kabar berita itu dimuat dalam dua surat kabar militer, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha pada awal Oktober 1965.


Surat kabat Angkatan Bersenjata yang terbit pada 5 Oktober 1965 menampilkan foto buram pembusukan tubuh para jenderal.


Foto itu menggambarkan bahwa pembunuhan para jenderal dilakukan dengan cara keji, seperti disiksa secara tidak manusiawi.


Serupa, Berita Yudha menuliskan artikel yang menggambarkan bahwa jenazah para jenderal dipenuhi tanda-tanda penyiksaan.


Disebutkan bahwa bekas luka di sekujur tubuh mereka diklaim sebagai hasil siksaan yang dilakukan sebelum ditembak.


Laporan otopsi tidak ditunjukkan ke publik


Tak sampai di situ, pemberitaan soal penyiksaan para jenderal sebelum dilempar ke sumur semakin riuh seminggu setelah kejadian.


Sejumlah media massa menyebut bahwa para jenderal ada yang diiris bagian tubuhnya, dipotong alat kelaminnya, serta dicongkel matanya, sebelum akhirnya ditembak hingga tewas.


Dikutip dari Tragedi Nasional Percobaan KUP G30S/PKI di Indonesia tahun 1990, penyiksaan fisik dan perlakuan kejam terhadap para jenderal dan perwira pertama dibuktikan dari laporan visum et repertum dari lima dokter.


Kendati demikian, isi laporan et repertum tersebut tidak ditunjukkan kepada publik.


Berbekal narasi pemberitaan tentang kekejaman pembunuhan para jenderal, tampaknya seniman film kemudian menggambarkan adegan penyiksaan seperti dalam film "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI".


Mantan anggota Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA) yang bertugas di Jakarta saat itu Ralph McGhee, menyebut berita penyiksaan para jenderal sebelum tewas sangat efektif membakar emosi massa dan menciptakan iklim kondusif bagi militer untuk melancarkan aksi pembantaian terhadap anggota PKI dan simpatisannya.

×