Sebuah unggahan di media sosial Instagram menjelaskan alasan orang Jawa tidak memiliki marga layaknya suku daerah lainnya yang memiliki marga.
Unggahan tersebut mengatakan bahwa budaya Jawa lebih menekankan pada nasab daripada marga.
"Bukan tanpa alasan, ahli sejarah dan budaya mengungkap penyebab orang Jawa tidak memiliki marga, ternyata ada makna mendalam di balik tradisi penamaan ini. Jawa itu tidak mengenal marga, tapi lebih menekankan pada nasab," tulis akun @sel*********, Jumat (24/10/2025).
Selama ini, orang Jawa memang dikenal tidak menggunakan marga. Berbeda dengan orang Batak yang dikenal memiliki marga, seperti Simanjuntak, Situmorang, atau Tampubolon.
Lantas, apa sebabnya orang Jawa tidak memiliki marga?
Orang Jawa terapkan aspek struktural vertikal
Dosen ilmu sejarah dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Harto Juwono mengatakan, pola hidup orang Jawa memandang leluhur dalam aspek struktural vertikal.
"Sebenarnya ini lebih pada pertanyaan antropologi dan dari aspek historis lebih mengarah pada pola hidup orang jawa yang menekankan aspek struktural vertikal, yang memandang leluhur dalam garis vertikal," kata Harto ketika dihubungi oleh Kompas.com, Sabtu (1/11/2025).
Harto mengatakan, masyarakat Jawa merupakan primus inter pares tunggal yang mengembangkan hubungan primordial patron klien sebagai kawula gusti.
Primus inter pares merupakan cikal bakal. Orang Jawa sebelumnya berasal dari masyarakat yang sama, lantas naik menjadi pemimpin tunggal, dan menciptakan struktur sosial hierarkis.
"Kita lihat bahwa para pendiri dinasti di Jawa adalah primus inter pares tunggal yang mengembangkan hubungan primordial patron klien sebagai kawula gusti, contohnya raja-raja Jawa sejak zaman Erlangga," ungkap Harto.
Sementara itu, ikatan primordial patron klien adalah ikatan nilai-nilai sosial yang mengikat bentuk pengabdian antara hubungan penguasa dan kawula di mana ada timbal balik kewajiban.
Marga bersifat kolektif horizontal
Harto menjelaskan, perbedaannya dengan marga adalah sifatnya yang kolektif horizontal.
"Sementara itu, marga bersifat kolektif horizontal. Contohnya seperti di tanah Batak yang terkenal bermarga," lanjut Harto.
Pada suku yang menerapkan penggunaan marga, primus interpares-nya bersifat kolektif. Maka dari itu dapat muncul marga dalam budaya sana, seperti halnya hutan marga, tanah marga, dan sebagainya.
Hal itu menunjukkan adanya perbedaan pola hidup dalam hubungan sosial struktural antara daerah yang menerapkan marga dengan yang tidak.
Berdasarkan kajian sejarah, Harto menjelaskan, daerah yang tidak menerapkan marga seperti Jawa, sejak awal mengakui adanya kepemimpinan tunggal, yakni sebagai kepala keluarga sekaligus kepala kelompok.
Sementara itu, daerah yang menerapkan marga seperti Batak menerapkan prinsip seluruh individu memiliki hak dan kewajiban yang sama.
"Akibatnya, di Batak atau Manado, juga Ambon, tidak ada kerajaan. Sementara itu di Jawa, Sunda, Madura, Bali, Banjar, Makassar dan Palembang yang tidak bermarga, ada kerajaan," kata Harto.
Apakah masih diterapkan hingga sekarang?
Bagi kelompok tertentu yang menjunjung tinggi marga dan nilai-nilai adat tertentu, Harto mengatakan, tentu budaya tersebut masih diterapkan.
"Hal itu berkembang dari internal keluarga sampai ke kedudukan dalam masyarakat," ungkapnya.
Contoh penerapan tersebut adalah marga yang masih dianggap sangat penting, terutama dalam perjodohan perkawinan (pariban) di Batak.
"Karena unsur marga memasuki adat sosial, maka status marga sampai sekarang masih dijunjung tinggi. Sebaliknya, pada masyarakat yang nilai adatnya berkurang, marga juga sudah mulai luntur kecuali hanya sebagai identifikasi kelompok sosial," pungkasnya.


