Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Dari Angkut Lobster hingga Terjang Bencana: Kisah Susi Air Jadi Penyelamat Aceh Dua Zaman

Desember 08, 2025 Last Updated 2025-12-08T10:19:25Z



Deru baling-baling pesawat Cessna Caravan itu sejatinya tak pernah dirancang untuk misi penyelamatan manusia. Pada awalnya, armada udara tersebut lahir dari kebutuhan bisnis yang sangat pragmatis: menjaga kualitas lobster agar tetap segar hingga tiba di pasar ekspor.


Namun sejarah sering kali memilih jalannya sendiri. Pesawat yang semula menjadi tulang punggung distribusi hasil laut itu, kelak menjelma sebagai “jembatan udara” paling vital di tengah kepungan bencana.


Dua peristiwa besar di Aceh—Tsunami 2004 dan Banjir Bandang Desember 2025—menjadi bukti konsistensi Susi Air dalam menembus isolasi wilayah. Dua dekade berlalu, tetapi peran maskapai milik Susi Pudjiastuti itu nyaris tak berubah: hadir pertama saat akses darat lumpuh total.


Awal Mula: Ambisi Emas Hidup yang Melahirkan Sayap


Jauh sebelum dikenal sebagai tokoh penerbangan perintis nasional, Susi Pudjiastuti adalah pelaku usaha perikanan di Pangandaran, Jawa Barat. Awal 2000-an, ia dihadapkan pada problem klasik logistik: perjalanan darat menuju Jakarta yang memakan waktu hingga sembilan jam membuat hasil laut—terutama lobster—banyak mati di jalan.


Kondisi itu berdampak langsung pada kualitas dan harga jual. Demi menyelamatkan “emas hidup” tersebut, Susi mengambil langkah berani yang jarang dilakukan pengusaha perikanan kala itu: membeli pesawat sendiri.


Dengan pinjaman bank, sebuah Cessna Caravan senilai sekitar Rp20 miliar didatangkan ke Indonesia pada akhir 2004. Pesawat berregistrasi PK-VVQ itu semula diproyeksikan sepenuhnya untuk kepentingan bisnis kargo hasil laut.


Tak ada yang menyangka, pesawat tersebut justru segera diuji dalam situasi terburuk yang pernah dialami Indonesia.


Tsunami Aceh 2004: Pendaratan Non-Militer Pertama


Minggu pagi, 26 Desember 2004, gempa raksasa disusul tsunami meluluhlantakkan Aceh. Jalur darat terputus, pelabuhan rusak, bandara lumpuh. Ribuan korban terisolasi tanpa bantuan medis maupun logistik.


Merespons situasi darurat itu, Susi tanpa ragu mengalihkan fungsi armadanya. Ia menerbangkan pesawat ke wilayah terdampak dengan keyakinan sederhana: pesawatnya mampu mendarat di kondisi ekstrem.


Keputusan itu mencatat sejarah. Sehari setelah tsunami, Susi Air menjadi pesawat non-militer pertama yang berhasil mendarat di Meulaboh dan Simeulue—dua wilayah yang nyaris terputus dari dunia luar. Landasan rusak, dipenuhi retakan dan puing, namun pesawat tetap mengangkut bantuan krusial bagi para penyintas.


Dalam dua pekan awal pascabencana, seluruh penerbangan kemanusiaan dilakukan secara gratis. Langkah ini kemudian menarik perhatian berbagai NGO internasional, yang menjadikan Susi Air mitra utama distribusi bantuan di wilayah terpencil Aceh.


Sejak saat itulah, identitas Susi Air berubah selamanya.


Banjir Bandang Aceh 2025: Sejarah yang Terulang


Desember 2025, Aceh kembali diuji alam. Curah hujan ekstrem memicu banjir bandang dan longsor di sejumlah kabupaten. Jalan nasional terputus, desa-desa terisolasi, dan distribusi logistik kembali menemui jalan buntu.


Tanpa banyak sorotan, armada Susi Air kembali diterjunkan. Pesawat Cessna Grand Caravan dengan kemampuan Short Take-Off and Landing (STOL) menjadi kunci. Dengan landasan sepanjang 400–600 meter, pesawat ini mampu mendarat di wilayah yang mustahil dijangkau pesawat besar atau kendaraan darat.


Dalam operasi ini, Susi Air berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk tokoh publik Dedi Mulyadi, untuk menyalurkan bantuan logistik bernilai miliaran rupiah ke kantong-kantong wilayah terisolasi. Pesawat yang sama—yang dua dekade lalu menerobos puing tsunami—kini kembali membawa harapan bagi korban banjir.


Benang Merah Kemanusiaan


Kisah Susi Air adalah anomali dalam dunia penerbangan. Maskapai ini tidak lahir dari cetak biru bisnis aviasi modern, melainkan dari urgensi seorang pedagang ikan yang menolak menyerah pada keterbatasan.


Dari menyelamatkan lobster, filosofi operasionalnya tumbuh menjadi menyelamatkan manusia. Dua bencana besar di Aceh, terpisah oleh 21 tahun, menjadi saksi bahwa di balik kokpit pesawat perintis ini, terdapat DNA kemanusiaan yang lebih kuat dari sekadar kalkulasi bisnis.


Susi Air bukan sekadar maskapai. Ia adalah bukti bahwa keberanian mengambil risiko—yang awalnya demi bisnis—dapat berubah menjadi penyelamat nyawa saat sejarah memanggil. ✈️

×