Sengketa pengelolaan lahan Hotel Sultan kembali memanas setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hak Guna Bangunan (HGB) PT Indobuildco tidak lagi berlaku sejak 2023. Putusan tersebut sekaligus memerintahkan perusahaan meninggalkan kawasan yang selama puluhan tahun dikuasai, serta membayar royalti lebih dari Rp 754 miliar.
Kasus ini menyeret kembali nama sejumlah tokoh besar Orde Baru, termasuk pendiri Indobuildco, Ibnu Sutowo, dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, yang pernah menjadi saksi kunci dalam persidangan kasus serupa pada 2007.
HGB Hotel Sultan Dinilai Gugur
PT Indobuildco—perusahaan swasta milik keluarga Ibnu Sutowo—sejak lama menguasai lahan seluas 13,7 hektare di kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Lahan itu sebelumnya diberikan melalui HGB No. 26/Gelora dan 27/Gelora dengan masa berlaku 30 tahun hingga 2002, yang kemudian diperpanjang lagi 20 tahun hingga 2023.
Secara aturan, HGB tersebut sebenarnya bisa diperpanjang kembali hingga 2053, sesuai ketentuan PP 18/2021 dan UU Cipta Kerja. Namun pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara menegaskan hak tersebut tidak lagi diperpanjang. Putusan PN Jakarta Pusat kemudian menguatkan sikap pemerintah.
Akar Persoalan: Sejak Proyek Hotel untuk PATA 1974
Untuk memahami akar sengketa, kita harus mundur ke awal 1970-an. Saat itu, pemerintah Orde Baru tengah menyiapkan Jakarta untuk menjadi tuan rumah Konferensi PATA 1974 yang diperkirakan menghadirkan ribuan peserta internasional. Kebutuhan hotel berbintang menjadi mendesak karena pilihan akomodasi kelas atas masih terbatas.
Pemerintah pusat akhirnya menunjuk Pemprov DKI Jakarta untuk memfasilitasi pembangunan hotel baru. Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, segera mencari pihak yang mampu mendanai proyek besar tersebut. Pilihannya jatuh kepada Pertamina, yang saat itu dipimpin Ibnu Sutowo dan tengah menikmati surplus besar dari booming minyak.
Ali Sadikin Mengira Indobuildco Anak Perusahaan Pertamina
Menurut kesaksian Ali Sadikin, ia secara pribadi meminta bantuan Ibnu Sutowo agar Pertamina membangun hotel bertaraf internasional. Permintaan itu langsung diterima, dan tak lama kemudian berdirilah PT Indobuildco sebagai pelaksana proyek.
Hotel mulai dibangun pada 1973 dan selesai pada 1976, lalu menggandeng jaringan Hilton Worldwide sebagai operator internasional pertamanya.
Namun bertahun-tahun kemudian, Ali Sadikin baru menyadari bahwa Indobuildco bukanlah anak perusahaan Pertamina, melainkan perusahaan swasta milik keluarga Ibnu Sutowo. Informasi itu ia dapat setelah menerima surat dari Menteri Keuangan JB Sumarlin dan Sultan HB IX.
“Saya tidak akan menyerahkan kepada swasta kalau tahu sejak awal,” tegas Ali dalam arsip persidangan tahun 2007.
Ia mengaku merasa “dikelabuhi” karena mengira keseluruhan proyek berada dalam kendali BUMN.
Kenapa Pemprov DKI Tak Bisa Mencabut HGB?
Dalam kesaksiannya, Ali menjelaskan bahwa gubernur tidak memiliki kewenangan mencabut atau mengatur HGB yang luasnya melebihi 5.000 hektare. Semua keputusan berada di tangan pemerintah pusat, termasuk HGB Indobuildco yang mencapai 13 hektare di Gelora Senayan.
Masa jabatan Ali pun berakhir pada 1977, sehingga ia tidak lagi memiliki otoritas dalam proses keberlanjutan HGB yang kemudian dikelola pemerintah pusat.
Sengketa Berlanjut Hingga Generasi Berikutnya
Setelah wafatnya Ibnu Sutowo pada 2001, kepemilikan Indobuildco berpindah ke putranya, Pontjo Sutowo. Sengketa lahan pun terus berlanjut hingga kini, memunculkan berbagai gugatan hukum dan tarik ulur perpanjangan hak lahan antara keluarga Sutowo dan pemerintah.
Putusan terbaru PN Jakarta Pusat pada 2025 menjadi babak penting yang menegaskan bahwa HGB Indobuildco telah berakhir, sekaligus membuka jalan bagi pemerintah untuk mengambil alih penuh pengelolaan kawasan Hotel Sultan.

