Makanan ultra-proses terbukti dapat memicu remaja untuk terus makan, bahkan ketika tubuh sebenarnya sudah tidak merasakan lapar. Temuan ini diungkap dalam studi terbaru dari Virginia Tech yang dirilis pada Desember 2025.
Penelitian tersebut menyoroti bahwa fase akhir remaja merupakan periode paling rentan terhadap efek makanan ultra-proses. Respons tubuh dan otak remaja terhadap jenis makanan ini dinilai berbeda dibandingkan orang dewasa muda, sehingga berpotensi mendorong kebiasaan makan berlebihan.
Kondisi ini dianggap berbahaya karena makan tanpa dorongan rasa lapar dapat menjadi pintu awal kenaikan berat badan sejak usia muda, yang berisiko berlanjut hingga dewasa.
Remaja Sulit Menghentikan Makan
Studi ini melibatkan 27 partisipan berusia 18 hingga 25 tahun. Mereka diminta menjalani dua pola makan berbeda selama dua minggu, yakni diet tinggi makanan ultra-proses dan diet tanpa makanan ultra-proses sama sekali.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan pada kelompok usia 18–21 tahun. Setelah menjalani pola makan ultra-proses, kelompok ini cenderung mengonsumsi lebih banyak makanan, termasuk camilan, meski sebelumnya telah menyantap makanan utama dan tidak merasa lapar.
“Kelompok usia lebih muda mengonsumsi lebih banyak kalori dari makanan ultra-proses, bahkan saat mereka sudah tidak lapar,” ujar ahli saraf Virginia Tech, Alex DiFeliceantonio.
Perilaku makan tanpa dorongan rasa lapar ini disebut sebagai salah satu indikator awal yang dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan.
Bukan Masalah Kalori, tapi Proses Pengolahan
Menariknya, peneliti memastikan bahwa kedua pola makan dalam studi tersebut memiliki kandungan kalori dan nutrisi yang seimbang. Dengan demikian, peningkatan asupan makan tidak disebabkan oleh perbedaan jumlah energi, gula, atau lemak.
“Kami sengaja menyamakan kandungan gizinya, sehingga efek yang terlihat benar-benar berasal dari tingkat pengolahan makanan,” jelas Brenda Davy, profesor gizi sekaligus penulis senior penelitian.
Setelah menjalani masing-masing diet, peserta diberi sarapan prasmanan dan sesi camilan untuk mengamati apakah mereka masih makan ketika rasa lapar sudah berkurang.
Kelompok usia 22–25 tahun tidak menunjukkan perubahan signifikan. Sebaliknya, kelompok usia 18–21 tahun justru tetap makan lebih banyak setelah mengonsumsi makanan ultra-proses.
Para peneliti menilai akhir masa remaja sebagai fase krusial karena pada usia ini seseorang mulai mandiri dalam memilih makanan dan membentuk kebiasaan jangka panjang.
“Jika pola ini terus berulang, risiko kenaikan berat badan sejak usia muda akan semakin besar,” kata Davy.
Studi yang dijadwalkan terbit di jurnal Obesity ini menjadi pengingat bahwa makanan ultra-proses tidak hanya berdampak pada kualitas gizi, tetapi juga memengaruhi cara otak dan tubuh merespons rasa lapar, khususnya pada remaja.

