Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Deret Kelemahan Teknologi Face Recognition yang Dipakai 'Nilang'

November 14, 2022 Last Updated 2022-11-14T05:08:55Z


Pakar keamanan siber sekaligus pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto mengatakan teknologi face recognition milik polisi acap kali blunder alias keliru.


"Tebak berapa banyak orang yang akan jadi korban salah tilang? Face recognition situ udah berulang kali blunder, sekarang malah ngide," kicaunya, seraya membagikan tautan berita polisi pakai tekologi face recognition untuk tilang, Kamis (3/11).


Face recognition beberapa kali punya masalah serius. Teknologi itu berpotensi melakukan misidentifikasi atau salah mengenali objek.


Misalnya, sejumlah warga salah dikenali oleh teknologi face recognition Polri dalam kasus pengeroyokan aktivis politik Ade Armando, 11 April. Saat itu, polisi sempat menetapkan tersangka Abdul Manaf. Padahal, ia tak hadir di tempat kejadian perkara saat insiden berlangsung.


Polisi pun mengakui meleset dalam mengidentifikasi Abdul Manaf dengan dalih pemakaian topi.


"Karena orang yang kita duga pelaku itu menggunakan topi, sehingga begitu topinya dibuka tingkat akurasinya tidak 100 persen. Jadi Abdul Manaf bisa dikatakan bukan sebagai pelaku,"kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan, Rabu (13/4).


Dalam polemik salah tetapkan tersangka itu, Pakar Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran (UNPAD) Setiawan Hadi menilai harusnya polisi tidak langsung percaya kepada algoritma komputer yang merupakan hasil pengembangan teknologi dari manusia.


"Sebetulnya enggak boleh kita, sekali lagi, kalau kita pakai mesin enggak boleh semata-mata bergantung pada mesin. Kita mesti check and recheck lagi," ujar dia, kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Kamis (14/4).


Menurutnya, face recognition dibalut kecerdasan buatan atau AI yang diajarkan untuk mengidentifikasi individu lewat fitur wajah.


Cara kerjanya adalah dengan mengenalkan database wajah kepada algoritma. Mesin akan melacak sampel gambar individu yang hendak diketahui identitasnya.


Face recognition menurut Setiawan terbilang sering digunakan dalam dunia riset. Namun, tetap ada false positive atau kesalahan dalam mengungkap identitas individu.


Pasalnya, ada kemungkinan orang yang mirip dengan sampel gambar pada database, sehingga algoritma salah membaca sampel tersebut.


Di sejumlah negara, teknologi deteksi wajah memicu polemik. Para demonstran gerakan pro-demokrasi di Hongkong misalnya, memperhatikan perlindungan wajah karena China memakai face recognition untuk mengawasi dan menangkap orang-orang yang dicurigai.


Studi Massachusetts Institute of Technology (MIT), dikutip dari Forbes, menunjukkan bahwa Rekognition, teknologi pengenalan wajah produk Amazon yang dipakai polisi di AS, bermasalah dalam mengenali wajah warga Afro-Amerika.


Senada, hasil penelitian Institut Nasional Standars dan Teknologi (NIST) AS terhadap 189 algoritma dari 99 pengembang, termasuk Intel, Microsoft, Toshiba, dan perusahaan China Tencent dan DiDi Chuxing menunjukkan masalah akurasi.


Algoritma dalam studi NIST diuji pada dua jenis kesalahan, yaitu positif palsu, di mana perangkat lunak salah menganggap foto dua individu yang berbeda menunjukkan orang yang sama; dan negatif palsu, di mana perangkat lunak gagal mencocokkan dua foto yang menunjukkan orang yang sama.


Bahwa, perbedaan wajah berdasarkan demografi memberi akurasi hasil yang berlainan.


Kasus lainnya adalah penyelidikan oleh dua Anggota DPR AS terhadap ID.me, sebuah perusahaan menyediakan layanan face recognition untuk memverifikasi identitas bagi sejumlah lembaga negara bagian dan federal, terkait masalah privasi dan keamanannya.[SB]

×