Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1), menuai kritik.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai bahwa pengakuan Jokowi terkait pelanggaran HAM di masa lalu tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menurut Usman, meskipun pihaknya menghargai sikap Presiden Jokowi yang mengakui terjadinya pelanggaran HAM sejak tahun 1960-an di Indonesia, sebetulnya sudah lama tertunda. Mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.
“Namun pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya," kta Usman dalam keterangannya, Kamis (12/1).
"Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” imbuhnya.
Alih-alih menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kata Usman, pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara secara nyata mengabaikan kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya.
“Seperti pelanggaran yang dilakukan selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir itu, jika Presiden serius bicara kasus yang terjadi setelah tahun 2000. Itu seharusnya juga disebutkan,” tandasnya.[SB]