Ketua Mahkamah Agung AS John Roberts dalam laporan akhir tahun memberikan peringatan dalam penggunaan kecerdasan buatan atau AI. Pasalnya, teknologi canggih itu dikhawatirkan dapat menimbulkan kekacauan dalam lembaga hukum.
Menurut dia, perkembangan teknologi seperti AI bisa mengubah cara hakim dan pengacara melakukan pekerjaan mereka.
Dia tak menampik bahwa AI berpotensi meningkatkan akses terhadap keadilan bagi pihak-pihak yang tidak mampu, merevolusi penelitian hukum, dan membantu pengadilan dalam menyelesaikan kasus dengan lebih cepat dan murah.
Namun di satu sisi ada juga masalah privasi dan ketidakmampuan AI untuk meniru penilaian humanis yang ada pada manusia.
"Saya memperkirakan hakim manusia masih akan ada dalam waktu dekat," tulis Roberts, dikutip dari Reuters, Rabu (3/1/2023).
"Tetapi dengan keyakinan yang sama, saya memperkirakan bahwa pekerjaan peradilan, khususnya di tingkat persidangan, akan sangat terpengaruh oleh AI," imbuhnya.
Komentar Ketua Mahkamah Agung ini merupakan pernyataan yang paling signifikan hingga saat ini mengenai pengaruh AI terhadap Undang-undang di AS.
Pernyataan tersebut juga bertepatan dengan sejumlah pengadilan di tingkat lebih rendah yang berlomba-lomba mencari cara terbaik untuk beradaptasi dengan teknologi baru AI.
Roberts menekankan bahwa setiap penggunaan AI memerlukan kehati-hatian dan kerendahan hati.
Dia menyebutkan sebuah contoh di mana halusinasi AI telah menyebabkan para pengacara mengutip kasus-kasus yang tidak ada dalam dokumen pengadilan, yang menurutnya selalu menjadi ide yang buruk.
Seperti yang baru terjadi pada kasus Michael Cohen, mantan pengacara Donald Trump. Ia mengatakan dalam dokumen pengadilan bahwa ia keliru memberikan pengacaranya kutipan kasus palsu yang dihasilkan oleh program AI yang kemudian dimasukkan ke dalam pengajuan resmi pengadilan.
Contoh lain dari pengacara termasuk kasus berhalusinasi AI dalam laporan hukum juga telah didokumentasikan dalam laporan tersebut.