Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah anak berkebutuhan khusus yang sendirian menunggui jasad ibunya selama berhari-hari- Mengapa para tetangganya baru mengetahui belakangan?

Maret 27, 2024 Last Updated 2024-03-27T03:26:29Z


Seorang anak berkebutuhan khusus di Banyuwangi, Jawa Timur, selama berhari-hari sendirian mendampingi jasad ibunya. Dia tidak menyadari bahwa ibunya sudah meninggal. Sebagian tetangganya baru mengetahuinya beberapa hari kemudian setelah jenazahnya membusuk. Mengapa orang-orang yang tinggal di sekitar rumah keluarga itu baru mengetahuinya belakangan?


Daniel Agus, 32 tahun, anak berkebutuhan khusus itu, menurut saksi mata, berbaring persis di sebelah ibunya, Siti Komariah, 64 tahun, di salah-satu kamar di rumahnya.


Keterangan polisi menyebutkan sang ibu diperkirakan sudah meninggal empat atau lima hari sebelumnya. Almarhumah dikenal sebagai penjual sayuran di pasar setempat.


Sebagian tetangganya di kampung Singotrunan, Banyuwangi, tidak mengetahui bahwa Siti meninggal dunia sebelum mereka mencium bau tidak sedap dari rumahnya.


Ahli sosiologi bidang gender, disabilitas dan kebijakan sosial dari Universitas Gadjah Mada, Fina Itriyanti, mengungkapkan bahwa kasus kematian Siti merepresentasikan kondisi “sangat ekstrim“ di tengah masyarakat.


Sebab, Siti merupakan seorang ibu tunggal yang bekerja untuk menghidupi putranya yang disabilitas. Hal ini membuatnya mengalami “stigma ganda“ yang dapat membuat warga lain enggan bersosialisasi dengannya.


“Jadi kasus ini justru membongkar kesenjangan sosial atau ketidakadilan yang begitu ekstrim dan terpampang begitu nyata, dengan adanya kematian ibu ini,” ujar Fina.


Di sisi lain, ketua RT setempat, Ainur Rofiq, mengaku bahwa warga sekitar “sangat peduli” terhadap Siti dan Daniel dan sempat menawarkan bantuan kepada ibu dan anak tersebut.


Namun, ia juga mengatakan bahwa Siti memiliki kecenderungan bersikap tertutup dan kurang berinteraksi dengan para tetangga


“Selama yang saya alami tidak pernah, dan beliau jarang sekali bercerita terkait bapaknya atau kehidupan pribadinya,” ungkap Rofiq kepada wartawan Alvina NA, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.


Sementara, tetangga yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia pun belum pernah bertemu dengan putra Siti, Daniel. Namun, ia mendengar tentang kondisi Daniel yang sulit berbicara dan sering menangis dan berteriak dari tetangga lain.


“Makanya dikira di dalam memang bersama ibunya, karena anak ini menangis terus dan tetangga-tetangga tidak curiga. Begitu sudah tiga hari ada orang yang biasa bersihkan rumah di situ, ditelepon enggak jawab dan sudah tidak ke pasar,” ujarnya.


Kronologi penemuan jasad Siti di samping putranya


Ainur Rofiq, selaku warga Singotrunan yang kini menjabat sebagai ketua RT, mengatakan bahwa warga yang melapor merupakan seorang yang biasa dimintai tolong oleh Siti untuk melakukan pekerjaan rumah maupun membantu di pasar.


Selama beberapa hari, warga tersebut berusaha menghubungi ponsel Siti namun tidak pernah mendapatkan balasan.


“Pada Minggu pagi, yang bersangkutan datang ke kediaman almarhumah untuk mengecek. Pada saat itu ada aroma kurang baik atau tidak baik. Akhirnya pelapor pergi ke depan rumah, dia ingin masuk ke dalam karena tidak terdengar suara putra yang menangis itu,” kata Rofiq.


Rofiq mengatakan bahwa tetangga sekitar sudah terbiasa mendengar suara teriakan dan tangisan putra Siti, Daniel Agus, sehingga mereka tidak curiga ketika mendengar Daniel menangis dalam empat hari terakhir.


“Kita tambah curiga akan adanya bau itu, sehingga pintunya kami buka paksa atau didobrok. Yang bersangkutan dan putranya itu ada di tempat tidur, bersebelahan dan yang almarhum posisinya sudah dalam keadaan meninggal dan sudah mulai membusuk,” kata Rofiq.


Kapolsek Banyuwangi AKP Kusmin mengatakan bahwa korban kemungkinan sudah meninggal empat hari lamanya. Bahkan, kulit korban dikabarkan sudah mengelupas dan dipenuhi belatung.


Menurut Kusmin, putra korban kini dibawa ke rumah sakit untuk menerima perawatan karena tubuhnya lemas.


"Kondisi putra korban juga lemas saat ditemukan. Kemungkinan sudah berhari-hari tidak makan," ujar Kusmin seperti dikutip Kompas.com.


Tetangga Siti: ‘Sekadar sapa saja, mengobrol tidak pernah’


Suasana di sekitar rumah yang dulu ditempati Siti dan Daniel selama hampir empat tahun terkesan sepi dan sunyi. Jalan dua arah yang menyusuri komplek Jalan Raung RT 4/RW 3, Kelurahan Singotrunan, Banyuwangi juga tak banyak dilalui kendaraan.


Rumah beratap cokelat itu cukup tertata rapi, dengan jendela-jendela biru dan pintu yang kini dikunci gembok. Di depan rumah itu juga terdapat rempah-rempah yang dulu dijual oleh Siti Komariyah di Pasar Blambangan.


Budi, warga yang menyewakan rumahnya kepada Siti dan Daniel sejak Maret 2021, mengatakan bahwa ia hanya pernah bertemu dengan Siti saat ia datang untuk melakukan pembayaran. Tapi, tidak pernah bercakap-cakap lebih dalam.


Sebab, Siti seringkali menghabiskan harinya berdagang di pasar.


“Jadi jam 03.00 pagi biasanya dia ke pasar, pulang belikan nasi buat anaknya. Enggak tahu jam berapa pulang, lalu malamnya menyiapkan makanan. Ia berjalan rempah-rempah,“ kata Budi.


Ia terakhir melihat Siti dua minggu yang lalu. Saat itu, pedagang pasar tersebut sudah terlihat kurang sehat.


“Pucat mukanya. Tapi kayaknya memang sakit. Kurus badannya, sudah pucat dan lemas,“ ungkap Budi.


Istri Budi sempat menyarankan agar Siti istirahat. Mereka tidak pernah bertemu Siti lagi setelah itu.


Rumah di kiri-kanan dan depan-belakang ditempati, namun semua pintu warga tertutup warga. Warga yang tinggal di rumah yang jaraknya tak jauh dari rumah Siti dan Daniel mengatakan bahwa


Tetangga yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa Siti jarang terlihat di acara pertemuan warga, hanya ketika ada acara besar seperti halal-bihalal. Meski begitu, Siti selalu membayar iuran untuk arisan atau keperluan komunitas lainnya.


Ia mengatakan Daniel jarang sekali diperbolehkan keluar rumah oleh ibunya.


“Tidak pernah keluar sama sekali, saya tidak pernah bertemu putranya. Kalau ibunya sekilas lewat saat di masjid. Sekadar sapa saja, mengobrol tidak pernah, makanya tidak terlalu kenal,“ ujar tetangga yang enggan disebut namanya.


Ia mengetahui tentang putra Siti, Daniel, yang berkebutuhan khusus dari tetangga yang rumahnya tepat di samping Siti.


“[Daniel] memang tidak bisa bicara, [dia] pakai bahasa isyarat. Jalannya juga enggak terlalu bisa, kalau ngomong enggak bisa. Bisanya nangis. Ketika mandi dia juga dimandiin ibunya. Kadang mandi itu menangis, jadi kedengaran sampai kamar belakang,“ ujarnya.


Oleh karena itu, ia merasa aneh bahwa tidak ada yang pernah memberitahukan tentang keberadaan Daniel kepada Dinas Sosial untuk diberikan bantuan atau dukungan.


“Saya juga tanya pak Lurah, kok bisa ada anak yang berkebutuhan khusus. Dia bilang saya tidak tahu karena itu dari RT lama, seharusnya RT lama yang lapor ke Dinas Sosial atau Puskesmas,“ tuturnya.


Sosiolog mengatakan Siti mengalami 'stigma ganda'


Sosiolog bidang Gender, Disabilitas dan Kebijakan Sosial UGM, Fina Itriyanti, mengungkapkan bahwa posisi Siti di masyarakat tempat ia tinggal sangat rentan karena kondisinya sebagai ibu tunggal dengan putra yang disabilitas.


Kalaupun ada warga yang berusaha menjangkaunya dan menawarkan bantuan, ia dapat dengan mudah merasa minder. Sehingga, hal ini dapat membuatnya terkesan tertutup.


“Karena mungkin dia secara sosial ekonomi di bawah yang lain dan punya anak penyandang disabilitas, tentu saja ada stigma tertentu sehingga kemudian ada rasa inferior untuk aktif menjadi bagian dari warga di situ,“ kata Fina.


Fina mengatakan bahwa individu-individu seperti Siti dan Daniel seringkali menjadi “tak kasat mata” karena mereka sulit menemukan rasa diterima di komunitas mereka. Salah satu alasan terbesar adalah stigma negatif yang masih dimiliki masyarakat di daerah pedesaan.


“Mereka dianggap polutan di masyarakat yang rural karena stigma itu dibungkus dalam mitos yang membuat mereka semakin enggan untuk bergaul dengan penyandang disabilitas,“ ujarnya.


Sosiolog dari Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, mengatakan bahwa kondisi yang terjadi pada Siti dan putranya Daniel, membuktikan bahwa masyarakat semakin tidak peka dengan kehidupan atau kondisi orang-orang yang tinggal di sekitar mereka.


“Kalau orang lewat dan tidak merasa ada kelainan, saya kira suatu kelalaian ini karena ketidakpekaan masyarakat kita. Ini suatu permasalahan yang serius sekarang ini,” ujar Hotman kepada BBC News Indonesia pada Selasa (26/03).


Hotman mengatakan bahwa terdapat kegagalan sistem dasawisma yang seharusnya dapat mendeteksi masalah-masalah dalam komunitas.


Sistem dasawisma merupakan kelompok yang terdiri dari 11 sampai 20 rumah dalam suatu komunitas. Tugas para kader Dasawisma adalah untuk memantau sekaligus membantu mengantisipasi timbulnya penyakit yang membahayakan keluarga, terutama anak.


“Mungkin itu sudah tidak jalan. Kalau kita mengarahkan ke Dinas Sosial, mereka menunggu laporan. Mereka tidak punya aparat turun untuk setiap hari memantau kehidupan masyarakat,” ujar Hotman.


Meskipun ia sendiri tidak secara langsung mengenal Siti, ia mengatakan bahwa warga di sekitar perumahan itu sangat peduli dengan Siti dan putranya.


“Saat almarhum sakit pun beliau sampai menawarkan diri untuk dimintai tolong berobat dan mengingatkan yang bersangkutan kalau nanti ada apa-apa untuk menghubungi tetangga.


“Artinya, sebenarnya tetangga-tetangga di sini sangat peduli dengan beliau. Kalau kami selaku RT terus terang saja yang bersangkutan dengan kami belum pernah berkomunikasi,” jelasnya.


×