Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Pedagang Ungkap Akar Munculnya 'Beras Premium Oplosan'

Juli 15, 2025 Last Updated 2025-07-15T08:21:45Z


Polemik soal dugaan peredaran beras oplosan kembali mencuat setelah pemerintah memeriksa 212 merek beras yang dianggap melanggar ketentuan mutu. Pedagang yang ditemui Republika mengungkapkan akar dari kejadian tersebut.


Di lapangan, pedagang dan petani memberikan pandangan berbeda. Menurut mereka apa yang disebut sebagai “oplosan” justru dianggap sebagai strategi bertahan hidup di tengah mahalnya harga gabah dan stagnannya harga eceran tertinggi (HET).


"Menurut saya kalau saat ini beras oplosan itu kayaknya nggak mungkin. Beras oplosan itu biasanya yang dioplos dengan beras subsidi dari pemerintah. Sementara untuk saat ini pemerintah nggak keluarin beras subsidi. Operasi pasar, SPHP, belum," kata salah satu penjual beras Haryanto (45 tahun) saat ditemui Republika di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Senin (14/7/2025). 


"Itu sebenarnya kerja sudah istilahnya pahit-pahitan ya. Dari istilahnya nurunin kualitas biar bisa harganya nutup," katanya. Menurutnya sejumlah produsen terpaksa melakukan hal itu karena tidak bisa mengimbangi harga HET beras. 


"Beras turun mutu itu yang harusnya spek 5 persen kadar broken (butir beras patah), dia diturunin ke 10 persen atau 15 persen. Nah itu tujuannya untuk apa? Untuk ngimbangin harga gabah yang tinggi di satu sisi, harga HET-nya untuk beras premium itu nggak mau naik," katanya. 


Menurutnya, istilah “oplosan” terlalu berlebihan dan menimbulkan kesan negatif, padahal upaya menurunkan mutu dilakukan agar harga jual tetap masuk akal. Ia juga mengatakan hal itu merugikan pedagang karena masyarakat menjadi was-was kendati hingga kini belum ada pengaruh kepada daya beli. 


"Ya pastilah. Kalau banyak berita ini konsumen juga was-was juga kan. Dikira memang diboongin," katanya. "Padahal kalau mau diadu beras swasta yang dia bilang nggak masuk tadi diadu sama beras bulog juga berani diadu lah masalah kualitas sama rasa," katanya menambahkan. 


Saat ini, harga gabah kering panen (GKP) disebut sudah menembus Rp 7.000 per kilogram meskipun pemerintah menyebut harga GKP Rp 6.500/kg. Harga itu dianggap sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang menyerap gabah lokal untuk cadangan beras nasional, menggantikan praktik impor di tahun-tahun sebelumnya.


“Yang bikin susah sekarang, kita masih diatur pakai HET (Harga Eceran Tertinggi) lama, tapi biaya produksinya naik terus,” katanya. 


Ia menyebut proses pengepakan kecil (5 kilogram) bisa menambah biaya operasional hingga Rp 500/kg. "Kemasan 5 kilo itu operasionalnya lebih tinggi. Per kilo bisa mencapai kurang lebih Rp 500. Misalnya saat ini beras premium itu per 50 kilo Rp 14.500 atau Rp 14.400. Ditambah Rp 500 operasional jadi beras 5 kilo tadi jatuhnya udah hampir Rp 15.000 kan Itu udah melanggar HET," katanya. 


"Ya mungkin belum tentu juga untuk mendapatkan untung. Ya mungkin buat mempertahankan merek, mempertahankan langganan yang sudah bisa kontinu belanja merek itu. Suatu saat kita mempertahankan produk kita di mata di konsumen," katanya. 

 

Sementara itu, dari sisi hulu, petani seperti Ade Rudiana (51) dari Karawang menyebut bahwa isu beras oplosan tidak berdampak langsung pada mereka. Menurutnya, yang justru membuat petani menjerit adalah ketika pemerintah melakukan impor.


“Kalau dari lokal ke lokal, nggak ada masalah. Nah yang bisa membahayakan itu sebenarnya beras impor, baru petani menjerit. (Misalnya) Naik dikit dihantam (harga beras impor)” kata Ade. Petani yang mengelola sekitar lima hektare lahan itu juga menyebut harga ideal gabah agar petani tetap semangat bertanam adalah Rp7.000 per kilogram.


“Sekarang biaya produksi tinggi banget. Obat-obatan, insektisida, semuanya naik. Nyemprot sekarang bisa 12–15 kali, dulu cuma 5–6,” katanya. Di sisi lain, menurutnya panen saat ini hasilnya juga menurun jadi 4–5 ton per hektare, dari sebelumnya 7–8 ton. “Dengan harga Rp6.500 pun, kami masih rugi,” katanya. 


Terkait tuduhan oplosan, Ade menilai hal itu bisa terjadi di tingkat penggilingan atau distribusi. “Kalau petani dipanen. Dibeli sama penggiling-penggiling padi. Selesai," katanya. 


Baik pedagang maupun petani sama-sama berharap pemerintah bisa lebih bijak menyikapi kondisi di lapangan. Pedagang mendorong agar pemerintah menyesuaikan HET premium sesuai realita biaya produksi, agar pelaku usaha tidak terus-terusan berada dalam posisi serba salah.


"Sebenarnya untuk konsumen semahal ini pun masih oke lah ya. Belum ada gejolak-gejolak penolakan harga tinggi itu nggak ya. Justru di pemerintahnya yang kayak khawatir banget gitu," katanya. 


"Padahal dari segi harga-harga tinggi, petani diuntungkan oke lah. Kita juga seneng ya kan. Cuman kita jadi dari pedagang juga bisa biar bisa kerja itu gimana? Ya itu tadi HET-nya dinaikin. Biar kita nggak melanggar aturan, sesuai spesifikasi yang ada," katanya. 


Sementara itu, Ade sendiri berharap harga standar GKP bisa dinaikkan agar memicu semangat petani. "Ya, harga pakai standar Rp. 7.000. Baru petani bisa semangat bertanam. Tapi kalau dibawa 7.000-Rp. 6.000 ke bawah itu lesu," katanya.

×