Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Strategi Negosiasi Gagal, RI Diminta Tiru Jurus Cina Hadapi Tarif Trump

Juli 12, 2025 Last Updated 2025-07-12T01:52:29Z


Sejumlah ekonom menilai sudah saatnya Indonesia mengubah pendekatan dalam bernegosiasi dengan Amerika Serikat (AS). Pasalnya, pemerintah masih memiliki waktu untuk merespons sebelum tarif impor sebesar 32% yang dicanangkan Presiden AS Donald Trump dan berlaku pada 1 Agustus 2025.


Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan strategi negosiasi Indonesia selama ini tidak efektif.


“Tarif tinggi dari era Trump melalui kebijakan Section 301 masih membebani ekspor Indonesia, dan negosiasi yang dilakukan selama bertahun-tahun belum membuahkan hasil,” ujar Hidayat, Jumat (11/7).


Belajar dari Cina, Bukan Menunggu Belas Kasihan


Hidayat menyebut, beberapa negara seperti Cina berhasil menurunkan tarif secara signifikan lewat pendekatan strategis. Menurutnya, Indonesia tidak bisa hanya berharap pada empati negara maju.


“Cina menyiapkan paket kesepakatan komprehensif, termasuk pembelian produk teknologi dari AS sebagai kompensasi. Ini memberi daya tawar yang kuat,” ujarnya.


Dia menegaskan bahwa pendekatan barter strategis tidak pernah dijalankan oleh Indonesia. Indonesia lebih sering datang dengan permintaan semata, bukan penawaran.


Daya Tawar Lemah, Strategi Terfragmentasi


Hidayat menilai akar persoalan ada pada daya tawar Indonesia yang lemah dan strategi negosiasi yang terpecah. Nilai ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar US$ 20–30 miliar per tahun, jauh dibandingkan Cina yang mencapai US$ 500 miliar.


Hal ini membuat ketergantungan AS pada Indonesia lebih kecil, sehingga posisi Indonesia dalam negosiasi pun kurang menguntungkan.


Selain skala perdagangan, Cina menjalankan negosiasi sebagai state grand strategy. "Cina siapkan data mikro-makro, pahami titik lemah supply chain AS, lalu datang dengan kompensasi yang konkret,” kata Hidayat.


Sebaliknya, Indonesia hanya membawa argumen moral sebagai negara berkembang yang butuh keringanan tarif. “Kita minta diskon tarif tanpa memberi insentif konkret bagi AS,” ujarnya.


Negosiasi Komoditas Sudah Ketinggalan Zaman


Hidayat juga mengkritik pendekatan negosiasi Indonesia yang masih berbasis komoditas mentah.


“Kita hanya menawar karet, tekstil, mineral, atau sawit. Padahal negara maju butuh sesuatu yang lebih strategis,” katanya.


Negosiasi Indonesia juga terpecah di banyak kementerian yang punya agenda masing-masing. “Kementerian Perdagangan fokus market access, BKPM fokus investasi, Kemenko Perekonomian koordinasi yang kadang justru menambah kerumitan,” ujarnya.


Saatnya Paket Lengkap, Bukan Sekadar Diskon


Hidayat mendorong pemerintah menyiapkan skema negosiasi menyeluruh, bukan hanya permintaan keringanan tarif.


“Jangan lagi menawar diskon tarif untuk satu komoditas. Siapkan package deal yang menawarkan insentif bagi AS,” ujarnya.


Contohnya adalah komitmen pembelian teknologi AS, relokasi industri baterai kendaraan listrik (EV), atau kerja sama kawasan industri hijau yang kini jadi prioritas global.


Negosiasi Perlu Tegas tapi Berdaulat


Sementara itu, Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi, menekankan pentingnya menjaga kedaulatan ekonomi dalam setiap kesepakatan.


“Indonesia harus berhati-hati. Kedaulatan ekonomi nasional tak boleh dikorbankan hanya demi meredam tekanan tarif dari Trump yang semakin koersif,” katanya.


Syafruddin menilai, posisi tawar tidak dibangun dengan retorika, tetapi dengan keberanian memainkan kartu strategis yang dimiliki.


“Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam hubungan dagang yang timpang dan merugikan,” ujarnya.

×