Leonardus Benjamin Moerdani namanya. Tapi orang-orang lebih mengenalnya dengan LB Moerdani atau Benny Moerdani.
Jika Soeharti dijuluki sebgai "The Smiling General", Benny sebaliknya, dia adalah "The Unsmilling General". Lebih dari itu, Moerdani dikenal sebagai perwira Angkatan Darat yang misterius.
Moerdani lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 2 Oktober 1932. Ayahnya adalah R.G. Moerdani Sosrodirjo, seorang pekerja kereta api. Sementara ibunya, Jeanne Roech, adalah perempuan keterunan Jerman.
Karier militer Moerdani dimulai setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Ketika itu dia terlibat dalam penyerangan markas Kempetai di Solo yang menolak menyerah. Moerdani pun menjadi bagian dari Tentara Pelajar yang saat itu bagian dari Brigade TNI.
Saat Indonesia relatif aman, Moerdani melanjutkan pendidikannya hingga sekolah menengah atas. Dia lalu terdaftar dalam Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada Januari 1951. Moerdani juga mengambil bagian dalam Sekolah Pelatihan Infanteri (SPI).
Pada April 1952 Moerdani menyelesaikan pendidikan P3AD-nya dan Mei di tahun yang sama dia lulus dari SPI. Dia lalu bertugas di TT/III Siliwangi yang memelihara keamanan Jawa Barat dengan pangkat Letnan Dua.
Pada 1954, Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima TT/III Siliwangi, membentuk Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Moerdani pun ditunjuk sebagai pelatih bagi prajurit yang ingin bergabung.
Pada 1956, KKAD berubah nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan Moerdani ditunjuk sebagai komandan kompi. Selama di RPKAD, Moerdani berperan dalam menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menyerah pada Juni 1958.
Pada 1960, Moerdani ditugaskan oleh Ahmad Yani untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika Serikat di Fort Benning. Moerdani menyelesaikan pendidikannya pada 1961 dan mempersiapkan diri untuk pengambilalihan Irian Barat.
Perannya di Irian Barat membuat Presiden Soekarno mengangkat Moerdani sebagai ajudan. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh Moerdani.
Pada 1965, Moerdani dipindahkan dari RPKAD ke Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) oleh Ahmad Yani, karena dituduh membangkang putusan atasan. Di Kostrad, Moerdani menjabat sebagai Wakil Assisten Intelijen di bawah Ali Moertopo. Tak hanya itu Moerdani juga menjadi bagian dari tim Operasi Khusus.
Setelah pecah Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, Moerdani bergabung dengan Ali Moertopo untuk bekerja meletakkan dasar demi mengakhiri polemik dalam negeri. Moerdani juga berperan dalam mengakhiri konflik Indonesia-Malaysia pada 11 Agustus 1966.
Setelah beres urusan konfrontasi, pada 1968, Moerdani menjadi kepala Konsulat Indonesia di Malaysia Barat. Tak hanya itu, Moerdani juga masih menjadi bagian dari Operasi Khusus yang bertugas mengawasi kejadian di Perang Vietnam.
Pada 1969, Moerdani dipindahkan ke Seoul untuk menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Korea Selatan. Setelah itu, pada 1973, status Moerdani ditingkatkan dari Konsul Jenderal menjadi chargé d'affaires.
Benny Moerdani kemudian kembali ke Indonesia saat meletus Peristiwa Malari pada Januari 1974. Dia diberi jabatan oleh Soeharto sebagai Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Pada 1975, Moerdani mengirimkan pasukannya di Timor Leste sebagai bagian dari Operasi Seroja. Pada 1981, Moerdani memimpin pasukan untuk membebaskan Pesawat Garuda yang dibajak saat itu.
Tahun 1983 adalah tahun puncak karier Benny Moerdani di militer. Tahun itu dia ditunjuk sebagai Panglima ABRI dan Presiden Soeharto mempromosikan dia menjadi Jenderal.
Naiknya Moerdani sebagai Panglima ABRI terbilang cepat karena sebelumnya dia belum pernah menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Kodam) dan Kepala Staf Angkatan Darat. Tak hanya itu, Moerdani juga ditunjuk sebagai Pangkopkamtib dan mempertahankan posisinya di Pusintelstrat yang berganti nama menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Saat ditunjuk sebagai pemimpin ABRI, Moerdani melakukan pembenahan pada tubuh ABRI. Seperti memotong anggaran, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan profesionalisme sebagai tujuan langsungnya.
Pada Februari 1988, Moerdani dicopot dari Panglima ABRI oleh Presiden Soeharto. Kabarnya, Pria Kemusuk itu tak ingin Moerdani lebih berkuasa setelah Sudharmono dicalonkan sebagai wakil presiden.
Pada saat itu, Moerdani juga mengkritik Presiden Soeharto terkait korupsi dan nepotisme dalam rezimnya. Tak hanya itu, Moerdani juga dianggap berambis menjadi wakil presiden pada Sidang Umum MPR 1988.
Pada September 1988, Moerdani ditunjuk Presiden Soeharto sebagai Menteri Pertahanan. Namun, ketika dia menjabat sebagai menteri, Moerdani dituduh melakukan kudeta terhadap pemerintahan Orde Baru. Setelah itu, Moerdani vakum dari karier politik hingga ia meninggal dunia pada 7 Juli 2004.
Banting baret merah
Saat di RPKAD, yang kemudian berganti nama menjadi Kopassu, Moerdani pernah punya anak buah yang bernama Agus Hernoto. Tak sekadar anak buah, keduanya juga bersahabat.
Saat Operasi Banteng I dalam rangka pembebasan Irian Barat, kaki Agus tertembak oleh tentara Belanda. Sejumlah anak buahnya pun berusaha untuk menyelamatkan Agus. Tapi upaya pertolongan dari anak buah tak membikin Agus menyingkir dari medan pertempuran.
Agus justru tetap berada di garis depan medan pertempuran. Keberanian dan pengorbanan Agus di tengah luka tembak harus dibayar mahal. Agus akhirnya tertangkap dan ditawan tentara Belanda.
Saat menjadi tawanan, Agus dirawat dengan baik oleh tentara Belanda. Meski begitu, kaki Agus terpaksa diamputasi karena luka tembaknya kadung membusuk. Singkat cerita, Agus tetap hidup dan menyaksikan bagaimana Irian Barat akhirnya berhasil direbut Indonesia.
Setelah Irian barat menjadi bagian dari Indonesia kembali, kabar buruk datang dari markas satuannya. Pada akhir 1964, para perwira RPKAD menggelar petemuan untuk membahas penghapusan tentara RPKAD yang cacat. Tentu saja ini ancaman bagi Agus karena saat itu dia hanya punya satu kaki.
Keputusan para petinggi RPKAD menghapus tentara cacat ditentang Moerdani yang ketika itu menjadi atasan Agus. Sikap Moerdani sangatlah mengandung risiko besar. Walhasil, Moerdani "dibuang" dari RPKAD ke Kostrad karena dianggap membangkang keputusan pimpinan.
Agus tentu saja juga dikeluarkan dari RPKAD. Mengetahui bekas anak buahnya dikeluarkan dari RPKAD, Moerdani akhirnya menarik Agus untuk bergabung di unit intelijen Kostrad. Sejak itulah, Agus melanjutkan karier militernya di dunia intelijen.
Moerdani dan Agus lalu bergabung dengan Operasi khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Keduanya bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Dalam Opsus itu, Agus menjadi orang kepercayaan Ali dan Moerdani.
Bahkan, siapa pun yang ingin bertemu dengan Ali dan Moerdani harus melalui Agus, sehingga muncul ungkapan "Agus itu Opsus. Opsus itu Agus".
Di dalam Opsus Agus bertugas menjadi semacam Komandan Detasemen Markas atau Dandenma yang mengatur segala hal terkait operasi-operasi opsus. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi Opsus di Irian Barat dan Timor-Timur.
Agus juga sempat mendapat penghargaan Bintang Sakti dari pemerintah setelah ada kesaksian akan keberaniannya saat berhadapan dengan tentara Belanda saat ditawan. Tak banyak prajurit meraih penghargaan tertinggi di militer ini. Hanya mereka yang menunjukkan sikap luar biasa dalam tugas negara yang pantas menyandangnya. Agus satu di antaranya.
Soeharto disebut-sebut selalu mengingat Agus. Setiap mereka bertemu, Soeharto pasti selalu menanyakan kondisi kaki Agus.
Kembali ke saat Moerdani dikeluarkan dari RPKAD. Ketika itu dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah lagi mengenakan Baret Merah. Murka Moerdani ternyata belum hilang ketika dia menghadiri undangan RPKAD pada 1985 yang ketika itu sudah ganti nama menjadi Kopassus.
Kemarahan Moerdani itu dituliskan dalam buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang ditulis oleh Hendro Subroto. Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI diminta untuk memberikan Baret Merah kehormatan Kopassus kepada Raja Malaysia, Yang Dipertuan Agung Sultan Iskandar.
Sebelum acara dimulai, Moerdani beristirahat di ruang Danjen Kopassus, Brigjen Sintong Panjaitan. Di sana, ada KSAD Jenderal Try Sutrisno, Wakil KSAD Letjen TNI Edi Sudrajat, dan Wakil Danjen Kopassus, Kolonel Kuntara.
Ada kejadian mengejutkan di ruangan yang sedang ditempati para perwira tinggi TNI itu. Saat Brigjen Sintong memberikan baret merah kehormatan Kopassus, Moerdani membanting baret itu ke meja dan hingga jatuh di lantai. Sontak orang-orang di ruangan itu terkejut saat melihat Benny begitu emosi dan berwajah seram. Namun, pada akhirnya Moerdani bersedia mengenakan baret itu dan mengikuti acara. Semua jadi lega dan upacara pun berjalan lancar.