Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah Merawat Ibu dengan Demensia Pasca Stroke

September 18, 2025 Last Updated 2025-09-18T13:38:35Z



Pernahkah kita mendampingi orang yang kita sayangi, lalu menyaksikan ingatannya perlahan hilang? Itulah yang saya alami ketika merawat ibu setelah beliau terserang stroke dan mengalami demensia. 


Pertanyaan yang sama diulang berkali-kali, senyum yang tiba-tiba hadir tanpa sebab, hingga tangisan yang tak lagi bisa ia jelaskan. Semua itu menjadi bagian dari keseharian kami selama lima tahun terakhir sebelum ibu akhirnya berpulang.


Banyak orang mungkin mengira demensia hanyalah bagian dari penuaan. Padahal, tidak semua orang lanjut usia akan mengalaminya. Menurut data Alzheimer's Disease International (ADI), diperkirakan ada lebih dari 55 juta orang di seluruh dunia hidup dengan demensia, dan angka ini akan meningkat seiring pertambahan usia populasi. 


Artinya, ini bukanlah fenomena kecil, melainkan isu kesehatan global yang nyata.


Bagi kami sebagai keluarga, demensia bukan sekadar istilah medis. Demensia adalah wajah ibu kami sehari-hari: kadang tersenyum, kadang marah tanpa alasan, kadang bertanya tentang ayah yang sebenarnya sudah lama meninggal. Dari situ kami belajar bahwa merawat orang tua sakit bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal mental dan hati.


Latar Belakang Kondisi Ibu


Ibu saya dulunya adalah sosok yang sangat aktif. Beliau sering mengurus rumah, bertani di pekarangan, dan tak jarang membantu tetangga yang membutuhkan. 


Namun semuanya berubah ketika stroke menyerangnya. Awalnya hanya sulit bicara, lalu anggota tubuh sebelah kanan melemah, dan akhirnya harus banyak beristirahat di tempat tidur.


Kami sekeluarga segera membawa ibu berobat ke rumah sakit. Dokter menyarankan pengobatan rutin, obat pengencer darah, dan terapi fisioterapi. 


Pada awalnya, kami masih bisa berharap ibu akan pulih. Namun, seiring waktu, muncul gejala baru yang membingungkan: ia sering lupa, menanyakan hal yang sama berulang kali, bahkan tidak mengenali orang terdekat. 


Dari situlah dokter menyampaikan kemungkinan ibu mengalami demensia akibat stroke.


Demensia vaskular, menurut Mayo Clinic, adalah salah satu jenis demensia yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak, biasanya akibat stroke atau kerusakan pembuluh darah. Gejalanya bisa berupa lupa, kesulitan berpikir, hingga perubahan emosi. Gejala inilah yang kemudian makin jelas terlihat pada ibu saya.


Sebagai keluarga, kami tentu tidak tinggal diam. Kami mencoba berbagai cara: mulai dari terapi medis, pijat tradisional, hingga doa-doa dari orang pintar. Ada kalanya kami merasa sedikit harapan ketika ibu bisa tertawa atau mengenali salah satu cucunya. Namun lebih sering, kondisi ibu menurun dan kami hanya bisa pasrah sambil terus berusaha.


Pada tahun kedua setelah stroke, ibu semakin sulit berbicara. Ia hanya bisa mengucapkan kata-kata pendek yang sering kali tidak nyambung dengan pembicaraan. Kami harus menebak maksudnya dari ekspresi wajah atau gerakan tangannya. Kadang terasa lucu, tetapi lebih sering membuat hati perih.


Kondisi fisik ibu juga semakin rapuh. Berat badannya turun drastis, nafsu makan berkurang, dan ia lebih banyak tidur. Pada saat-saat seperti itu, kami sadar bahwa bukan hanya tubuhnya yang perlahan hilang, tetapi juga ingatan dan kesadarannya.


Meski demikian, di balik semua rasa sedih, ada juga kehangatan yang muncul. Setiap kali ibu menatap kami dengan mata berbinar, meskipun mungkin ia tidak lagi mengenali siapa kami, rasanya seperti ada cinta yang tak pernah benar-benar hilang.


Perjalanan Merawat Ibu


Merawat ibu tidak pernah menjadi tugas yang ringan. Kami berlima bersaudara akhirnya sepakat membuat jadwal bergilir agar semua bisa ikut menjaga. Ada yang kebagian shift pagi, ada yang siang, ada pula yang harus begadang di malam hari. Dengan cara itu, beban tidak jatuh pada satu orang saja.


Rutinitas harian terasa monoton namun melelahkan. Memberi makan bubur yang harus disuapi perlahan, mengganti popok, membersihkan tubuhnya dengan kain basah, hingga memijat ringan agar ototnya tidak kaku. Semua itu kami lakukan dengan sabar, meski kadang ada rasa ingin menyerah.


Salah satu momen yang paling sering terjadi adalah ketika ibu bertanya berulang kali. "Kamu siapa?" atau "Ayah ke mana?" Padahal kami sudah menjawab berkali-kali. Di titik itulah, kesabaran benar-benar diuji. 


Menurut penelitian Journal of Alzheimer's Disease, repetisi pertanyaan merupakan salah satu ciri umum pada pasien demensia karena otak tidak lagi mampu menyimpan informasi baru.


Selain fisik, yang paling berat adalah beban emosional. Saat ibu marah tanpa alasan, menolak makan, atau tiba-tiba menangis, kami sering merasa tak berdaya. Namun setelah itu, ia bisa tersenyum seperti anak kecil, dan hati kami kembali luluh.


Saya sendiri sering merasa campur aduk. Ada rasa lelah luar biasa, ada amarah yang ingin keluar, tetapi selalu ditahan karena sadar bahwa ibu tidak bersalah. Ia hanya korban penyakit. Pada saat seperti itu, doa menjadi satu-satunya penguat.


Bergilir merawat juga membuat kami belajar bekerja sama sebagai saudara. Tentu tidak selalu mulus. Ada perbedaan pendapat tentang cara merawat, ada yang lebih sabar, ada yang lebih emosional. Namun perbedaan itu justru membuat kami saling melengkapi.


Tak jarang cucu-cucu ibu ikut menemani. Meski masih kecil, mereka berusaha membuat nenek tertawa dengan menyanyi atau bercerita. Walau nenek hanya diam atau menatap kosong, kehadiran mereka seakan memberi energi baru bagi kami semua.


Di tengah semua kepenatan, ada momen-momen kecil yang menjadi pengingat akan cinta yang besar. Misalnya ketika ibu menggenggam tangan kami erat-erat, atau ketika ia tiba-tiba menyebut nama salah satu anaknya dengan jelas. Itulah hadiah kecil yang membuat perjalanan ini terasa lebih bermakna.


Tantangan Sebagai Caregiver


Menjadi caregiver bukanlah hal mudah. Secara fisik, tubuh sering kali kelelahan karena harus menjaga sepanjang waktu. Malam yang harus terjaga, siang yang digunakan untuk bekerja, dan waktu istirahat yang hampir tidak ada. Akibatnya, kesehatan kami sebagai pendamping pun ikut terancam.


Dari sisi mental, beban justru lebih berat. Tidak mudah menghadapi orang yang kita cintai tetapi sudah tidak mengenali kita lagi. Ada luka yang tidak terlihat, yaitu rasa kehilangan meski orang tersebut masih ada di depan mata.


Kesabaran menjadi ujian utama. Saat ibu marah, menolak makan, atau berteriak tanpa alasan, kami harus tetap tenang. Kadang ada rasa frustasi, ingin berteriak balik, tapi selalu kami tahan. 


Menurut Alzheimer's Society UK, caregiver sering mengalami stres tinggi, bahkan berisiko terkena depresi akibat beban emosional yang berat.


Selain itu, ada pula masalah praktis seperti biaya perawatan. Obat-obatan, terapi, popok, dan kebutuhan sehari-hari tidak sedikit. Walaupun ada asuransi dan bantuan BPJS, tetap saja banyak yang harus ditanggung keluarga. Hal ini sering menambah beban pikiran.


Konflik antar saudara juga tidak terelakkan. Ada yang merasa lebih banyak berkorban waktu, ada yang lebih fokus pada biaya, ada pula yang hanya sesekali datang menjenguk. Semua ini menimbulkan perasaan tidak adil. Namun lambat laun kami belajar untuk saling memahami, karena tujuan kami sama: merawat ibu dengan sebaik-baiknya.


Masyarakat sekitar juga kadang kurang paham. Ada yang menganggap kondisi ibu sebagai hal wajar karena usia tua. Ada pula yang menyarankan pengobatan aneh yang tidak masuk akal. Meski niatnya baik, kadang saran-saran itu justru membuat hati semakin bingung.


Di sisi lain, menjadi caregiver juga membuat kami semakin dekat dengan ibu. Setiap kali memandikan, menyuapi, atau sekadar duduk di sampingnya, ada ikatan batin yang terasa kuat. Hubungan ibu dan anak berubah: dari dulu beliau merawat kami, kini giliran kami merawatnya.


Tantangan terbesar sebenarnya bukan hanya merawat ibu, tetapi juga merawat diri sendiri. Menjaga kesehatan mental agar tetap kuat, menerima keadaan, dan tidak larut dalam kesedihan. Semua itu butuh dukungan keluarga dan doa yang tak henti-henti.


Meski penuh tantangan, ada kepuasan tersendiri ketika melihat ibu masih bisa tersenyum atau tidur dengan tenang. Rasa lelah seolah terbayar dengan ketenangan itu. Itulah kebahagiaan sederhana seorang caregiver.


Pelajaran Hidup yang Didapat


Dari pengalaman lima tahun merawat ibu, saya belajar bahwa sabar bukan hanya kata-kata indah, tetapi benar-benar praktik sehari-hari. Sabar untuk menjawab pertanyaan yang sama, sabar untuk membersihkan tubuh yang renta, sabar untuk menerima kenyataan bahwa ibu tidak akan sembuh seperti dulu.


Ikhlas juga menjadi kunci. Ikhlas menerima takdir bahwa ibu harus melewati sakit panjang, ikhlas melepas banyak waktu pribadi, bahkan ikhlas mengesampingkan ambisi demi bisa menemani ibu. Dari sini saya memahami bahwa ikhlas bukan menyerah, melainkan menerima dengan lapang dada.


Kebersamaan dengan saudara menjadi pelajaran berharga lainnya. Meski awalnya sering terjadi perbedaan pendapat, akhirnya kami sadar bahwa tanpa kerjasama, perawatan ini tidak akan mungkin dijalani. Justru dengan adanya kebersamaan, beban terasa lebih ringan.


Saya juga belajar bahwa cinta seorang anak kepada orang tua bukan hanya ditunjukkan lewat kata-kata, tetapi lewat tindakan nyata. Menyeka keringatnya, menyuapi makanan, hingga sekadar menemani tidur, semua itu adalah bentuk cinta yang sederhana tapi tulus.


Dari ibu, saya belajar arti keteguhan hati. Meski tubuhnya lemah, beliau tetap bertahan hingga bertahun-tahun. Seolah ingin memberi kesempatan bagi anak-anaknya untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan.


Saya juga semakin paham bahwa demensia bukan sekadar "pikun" biasa. Demensia adalah penyakit serius yang memerlukan perhatian bersama. Edukasi masyarakat perlu ditingkatkan agar caregiver tidak merasa sendirian menghadapi stigma.


Selain itu, saya menyadari pentingnya menjaga kesehatan sejak muda. Stroke dan demensia sering kali berawal dari gaya hidup tidak sehat. Menurut Kementerian Kesehatan RI, faktor risiko stroke meliputi hipertensi, diabetes, merokok, dan pola makan tidak sehat. Pelajaran ini menjadi pengingat bagi kami anak-anaknya agar lebih memperhatikan diri sendiri.


Akhirnya, pelajaran terbesar adalah bahwa merawat orang tua sakit adalah kesempatan langka. Tidak semua orang mendapat kesempatan itu. Meski berat, ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa membalas sedikit jasa ibu yang telah merawat kami sejak kecil.


Penutup


Ketika ibu akhirnya berpulang, ada rasa kehilangan yang dalam, tetapi juga rasa lega bahwa perjuangannya sudah selesai. Kami tahu bahwa beliau kini sudah bebas dari sakit dan penderitaan.


Bagi saya pribadi, pengalaman ini adalah perjalanan spiritual. Saya belajar banyak tentang sabar, ikhlas, dan arti kasih sayang yang tak tergantikan. Menjadi caregiver mungkin melelahkan, tetapi justru di situlah cinta sejati diuji.


Untuk para pembaca, jika suatu hari berada di posisi yang sama, ingatlah bahwa merawat orang tua bukan hanya kewajiban, melainkan juga kesempatan. Kesempatan untuk memberikan cinta terakhir yang paling tulus. Semoga kita semua bisa menjalaninya dengan hati yang ikhlas.

×