Di tengah ruang dialog yang seharusnya menjadi ajang refleksi tenang, suara Rocky Gerung justru melemparkan bom waktu ke hadapan para petinggi Polri, menyentil dua isu panas yang masih membara di dada masyarakat: Fufufafa dan ijazah palsu. Acara bertajuk “Hak Asasi vs Ketertiban Umum di Demonstrasi: Di Mana Batasnya?” yang digelar di STIK-PTIK Jakarta Selatan pada Senin, 29 September 2025, berubah menjadi panggung kritik tajam dari sang akademisi yang tak pernah kehabisan kata-kata pedas. Rocky, dengan gaya khasnya yang blak-blakan, mengaitkan kedua isu tersebut sebagai latar belakang utama mengapa kemarahan publik terhadap institusi kepolisian semakin membengkak, meski demo-demonstrasi akhir Agustus lalu sudah mereda. Ia bahkan mengeluh bagaimana kritiknya sendiri kini dicurigai sebagai upah dari Polri, mencerminkan ketidakpercayaan yang merajalela di kalangan aktivis, dosen, dan jurnalis. Dialog ini, yang dihadiri pejabat tinggi seperti Direktur Intelijen Polri Irjen Pol Ahmad Kemal dan moderator dari Komnas HAM, seolah menjadi cermin kegelisahan bangsa yang masih bergulat dengan reformasi institusi penegak hukum, di mana isu-isu tak terselesaikan justru menjadi bensin bagi api protes yang siap menyala kapan saja.
Dialog Publik yang Berubah Jadi Panggung Kritik Tajam
Ruangan di STIK-PTIK itu penuh sesak dengan wajah-wajah serius, dari seragam biru Polri hingga kemeja batik para akademisi, ketika Rocky Gerung naik ke mimbar. Acara yang dimulai pukul 10 pagi WIB itu, dihadiri sekitar 200 peserta termasuk perwakilan dari Muhammadiyah dan LBH Jakarta, awalnya berfokus pada keseimbangan hak berekspresi dan ketertiban umum pasca-kerusuhan demo Agustus 2025. Namun, tak butuh waktu lama bagi Rocky untuk menggeser arah diskusi, menyentil bagaimana isu-isu tak terselesaikan telah meracuni persepsi publik terhadap Polri. “Di belakang kepala kita, di belakang emak-emak, dosen, jurnalis, ada isu yang unexplainable, unspeakable—Fufufafa dan ijazah palsu—itu yang jadi background kemarahan publik,” tegasnya dengan nada yang setengah bercanda tapi penuh makna, membuat beberapa hadirin geleng-geleng kepala. Peserta lain, seperti pakar hukum tata negara dari UI, menambahkan bahwa dialog semacam ini krusial untuk membangun kepercayaan, tapi Rocky justru menyoroti ironi: bagaimana Polri yang seharusnya netral malah dicurigai terlibat dalam isu-isu yang melibatkan elite politik. Acara berlangsung hingga sore, dengan sesi tanya jawab yang panjang, di mana Rocky tak segan menjawab tudingan bahwa kritiknya “sudah dibeli” sebagai cerminan kepicikan masyarakat sipil yang kehilangan independensi.
Lebih dari sekadar kata-kata, pernyataan Rocky ini seolah menjadi pengingat bahwa reformasi Polri, yang digaungkan sejak era Jokowi, masih jalan di tempat. Ia menguraikan secara teoritis bagaimana konsep reformasi yang setengah hati justru memecah isu publik menjadi fragmen-fragmen yang tak kunjung selesai, seperti demo 25-28 Agustus 2025 yang menewaskan driver ojek online Affan Kurniawan dan melukai ratusan demonstran. Direktur Intelijen Polri, Irjen Pol Ahmad Kemal, yang memimpin acara, tampak tenang tapi tegas membela, menyatakan bahwa Polri berkomitmen pada transparansi dan siap menangani isu-isu sensitif dengan bukti. Namun, bagi Rocky, itu tak cukup; ia menuntut “research” mendalam agar isu-isu seperti Fufufafa tak lagi menjadi “semester depan” yang tak berujung. Diskusi ini juga menyentuh tuntutan Muhammadiyah pada akhir Agustus, yang menyerukan Polri humanis dan akuntabel, menunjukkan bahwa suara masyarakat sipil masih bergema kuat meski demo fisik sudah mereda. Di akhir sesi, Rocky bahkan bercanda, “Kalau kritik saya dicurigai dibeli Polri, berarti saya harus bayar pajak lebih mahal,” yang disambut tawa ringan tapi sarat pesan.
Tak hanya di ruang dialog, pernyataan Rocky langsung memicu gelombang di media sosial. Postingan dari akun @geloraco dan @OposisiCerdas di X segera menyebar, dengan ratusan like dan retweet dalam hitungan jam, menunjukkan betapa sensitifnya topik ini. Beberapa netizen memuji keberanian Rocky, sementara yang lain menuduhnya mencari sensasi, tapi satu hal pasti: dialog ini telah membuka keran perdebatan baru tentang batas antara hak asasi dan ketertiban umum, di mana Polri harus membuktikan bukan hanya dengan kata, tapi aksi nyata.
Memahami Isu Fufufafa: Dari Akun Misterius ke Tuduhan Elite
Di balik kode-kode samar “Fufufafa”, tersimpan cerita yang lebih gelap: dugaan akun media sosial milik Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang diduga memprovokasi kerusuhan demo Agustus 2025. Isu ini meledak sejak akhir Agustus, ketika politikus PDIP Mohamad Guntur Romli secara terbuka bertanya di Facebook, “Kenapa pemilik akun Fufufafa masih aman-aman saja?” sementara Polri dengan cepat menangkap tujuh provokator lain. Akun tersebut, yang aktif di TikTok dan YouTube melalui grup “Ceboker Nusantara”, disebut-sebut memposting konten provokatif yang memicu bentrokan di depan DPR, termasuk serangan verbal terhadap anggota parlemen dan kebijakan Presiden Prabowo pasca-abolisi. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel bahkan menyoroti lambannya Polri menangani akun ini, meski enam orang terkait grup fantasi sedarah sudah ditangkap pada Mei 2025, menambah keraguan publik bahwa ada intervensi politik di balik ketidakadilan penegakan hukum. Rocky Gerung, dalam dialognya, menyebut isu ini “unspeakable” karena menyentuh elite, di mana spekulasi bahwa akun itu milik Gibran—meski tak terbukti—telah menjadi bensin bagi api kemarahan, terutama di kalangan emak-emak dan mahasiswa yang merasa Polri lebih tegas pada rakyat kecil.
Konteks demo Agustus 2025 mempertegas betapa isu Fufufafa telah menjadi simbol ketidakadilan. Aksi yang dimulai 25 Agustus dengan tuntutan tolak tunjangan DPR dan RUU Polri, berujung ricuh di 107 titik di 32 provinsi, menewaskan Affan Kurniawan yang terlindas truk Brimob dan melukai puluhan lainnya. Saat itu, akun Fufufafa justru sibuk memprovokasi via TikTok, dengan video 6 menit 40 detik yang memaki DPR dan mendukung gerombolan YouTube radikal, seperti dilaporkan akun @forensik14. Guntur Romli bahkan menyambungkannya dengan potensi pemakzulan Gibran, sementara Muhammadiyah menuntut reformasi Polri yang humanis. Rocky menambahkan lapisan filosofis: isu ini tak hanya soal akun, tapi kegagalan Polri membangun kepercayaan, di mana netizen merasa ada standar ganda—provokator biasa ditangkap cepat, tapi yang elite lolos. Di X, tagar #FufufafaKapan ramai sejak 22 September, dengan postingan seperti dari @OposisiCerdas yang menyoroti ironi penangkapan provokator lain sementara Fufufafa “menghilang” di tengah duka bangsa.
Implikasi lebih luas terlihat dari gelombang demo lanjutan pada 4 September, di mana BEM SI menuntut 13 poin termasuk tolak dwifungsi ABRI, dengan Fufufafa sebagai contoh penyalahgunaan media sosial oleh elite. Rocky memprediksi isu ini akan “masih ada di semester depan”, menekankan bahwa tanpa penindakan tegas, kemarahan publik akan terus membara, merusak citra Polri yang sedang berupaya reformasi di bawah Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Bagi masyarakat sipil, Fufufafa bukan sekadar akun, tapi metafor ketidakpastian hukum yang membuat demonstrasi bukan pilihan, tapi keharusan.
Polemik Ijazah Palsu: Tuduhan yang Tak Kunjung Reda dan Dampaknya
Tak kalah membara, isu ijazah palsu yang menjerat mantan Presiden Joko Widodo sejak 2019 kini menjadi amunisi baru bagi kritik terhadap Polri, meski Bareskrim telah menghentikan penyelidikan pada 22 Mei 2025 setelah uji forensik membuktikan keaslian dokumen. Tuduhan ini, yang pertama kali dihembuskan Umar Kholid Harahap via Facebook soal ijazah SMA Jokowi dari SMAN 6 Surakarta tahun 1980, kembali bergulir pada 2025 dengan gugatan Eggi Sudjana dari TPUA, memicu pemeriksaan 39 saksi termasuk Jokowi sendiri. Pada 9 Mei, tim kuasa hukum Jokowi menyerahkan ijazah asli SMA dan S1 Kehutanan UGM ke Dittipidum Bareskrim, yang hasil labfor-nya identik dengan pembanding, termasuk tinta, kertas, dan stempel. Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengonfirmasi tak ada unsur pidana, tapi Rocky Gerung menyoroti bagaimana proses ini justru menambah keraguan: “Masyarakat menunggu kepastian sampai di mana isu ini?” karena penanganan lambat dianggap sebagai bukti Polri tak tegas pada elite. Di dialog, Rocky mengaitkannya dengan Fufufafa sebagai “isu unexplainable” yang membuat aktivis dan jurnalis curiga akan kolusi.
Proses hukum yang panjang ini, termasuk laporan balik Jokowi pada 30 April 2025 ke Polda Metro Jaya terhadap lima tersangka seperti Roy Suryo dan Dr. Tifa, naik ke penyidikan pada 11 Juli setelah gelar perkara menemukan unsur pidana pencemaran nama baik. Jokowi, saat diperiksa di Bareskrim pada 20 Mei, menyatakan siap buka ijazah di pengadilan dan kasihan pada terlapor, tapi menyebut tuduhan “keterlaluan”. UGM telah berulang kali konfirmasi keaslian, termasuk pada 2024, tapi isu tetap hidup di media sosial, dengan analisis Roy Suryo via error level analysis (ELA) yang menduga palsu logo dan pasfoto. Aktivis seperti Wawan Leak pada April 2025 menyebut ini pengalihan dari isu aktual seperti IKN dan judi online, sementara Guntur Romli menyambungkannya dengan hilangnya isu ijazah Mulyono di tengah demo. Rocky, di hadapan Polri, menekankan bahwa kegagalan selesaikan isu ini secara cepat telah memicu perpecahan, di mana masyarakat sipil merasa Polri lebih lindungi elite daripada rakyat.
Dampaknya terasa di gelombang demo September, di mana tuntutan reformasi Polri mencakup transparansi penanganan isu sensitif seperti ini. Di Blitar dan Kediri, massa melempar molotov ke polres pada 30-31 Agustus, dengan Fufufafa dan ijazah palsu sebagai narasi latar. Rocky memperingatkan bahwa tanpa “research” mendalam, isu ini akan terus jadi pemicu, merusak upaya Polri bangun citra humanis seperti yang dituntut Muhammadiyah. Bagi Jokowi, yang diperiksa di Polresta Solo pada 23 Juli dengan membawa ijazah SD hingga S1, ini jadi pelajaran pahit tentang betapa rapuhnya kepercayaan publik di era digital.
Tantangan Reformasi Polri di Ujung Tanduk
Kemarahan publik yang disinggung Rocky bukan isapan jempol; survei internal LBH Jakarta pasca-demo Agustus menunjukkan 70 persen responden kehilangan kepercayaan pada Polri karena penanganan isu elite seperti Fufufafa dan ijazah palsu. Demo yang menewaskan Affan dan menangkap 370 orang, termasuk 10 pelajar di bawah umur, telah meninggalkan luka, dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui kerusuhan di 32 provinsi. Rocky menyoroti “kepicikan” masyarakat sipil yang curiga pada hubungan aktivis-dosen-jurnalis dengan Polri, lahir dari kegagalan reformasi yang setengah hati. Di dialog, ia usulkan pendekatan teoritis: pecah isu jadi actionable steps, seperti transparansi digital forensics untuk akun provokator. Respons Polri via Irjen Kemal positif, tapi Rocky tegas: “Tunggu kepastian, jangan sampai isu ini semester depan lagi.” Ini sejalan dengan 13 tuntutan BEM SI pada 4 September, termasuk tingkatkan kesejahteraan pendidik dan tolak dwifungsi.
Lebih dalam, kemarahan ini mencerminkan krisis legitimasi Polri di era Prabowo, di mana RUU Polri dikritik karena potensi kembalikan dwifungsi. Postingan X pasca-dialog Rocky, seperti dari @officialinews_, ramai dengan 900 views, menunjukkan opini publik terbelah: sebagian puji keberanian, yang lain tuduh Rocky provokator. Guntur Romli bahkan hubungkan dengan pemakzulan potensial, sementara Reza Indragiri desak tindakan cepat pada predator digital seperti Fufufafa. Bagi Polri, tantangan adalah bukti aksi: sejak September, Bareskrim tingkatkan unit siber, tapi tanpa hasil konkret, kemarahan bisa meledak lagi.
Refleksi akhir dari dialog ini adalah panggilan untuk dialog berkelanjutan. Rocky, meski kritis, akui Polri punya peran besar dalam demokrasi, tapi reformasi harus holistik—bukan hanya janji, tapi akuntabilitas. Di Jakarta yang masih panas, isu Fufufafa dan ijazah palsu jadi pengingat: kemarahan publik tak hilang dengan waktu, tapi dengan keadilan yang terasa.