Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Ketika Buah Jadi Racun: Kisah Tragis di Balik Diet Ekstrem Fruitarianism

Oktober 11, 2025 Last Updated 2025-10-11T09:06:34Z



Di tengah gempuran media sosial yang penuh dengan janji hidup "bersih dan alami", semakin banyak orang tergoda mencoba pola makan ekstrem. Salah satu yang kini banyak diperbincangkan adalah diet buah ekstrem atau fruitarianism. Sekilas tampak sehat---karena buah dianggap sumber vitamin dan antioksidan alami---namun di balik warna dan kesegarannya, tersimpan risiko besar bagi tubuh. Kasus tragis Karolina Krzyzak, seorang wanita muda asal Polandia yang meninggal di Bali akibat diet buah ekstrem, menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang percaya bahwa "alami selalu berarti sehat" 


Dari Gaya Hidup Sehat Menjadi Bumerang


Dilansir dari detikHealth Karolina mulai menjalani pola makan fruitarian sejak usia belasan tahun. Ia percaya bahwa hanya dengan makan buah segar, tubuh akan "detoks alami" dan mencapai kebugaran sempurna. Namun, keyakinan itu justru menyeretnya ke jurang malnutrisi berat. Ketika ditemukan di sebuah vila di Bali, berat badannya hanya 22 kilogram, tulang menonjol, kulit pucat, dan tubuhnya lemah tak berdaya. Ia menolak bantuan medis dan akhirnya meninggal dalam kondisi kelaparan 


Fenomena ini menunjukkan bagaimana idealisme "hidup sehat alami" bisa berubah menjadi obsesi berbahaya. Dalam ilmu gizi seperti dikutip dilaman Cleveland Clinic, pola makan yang terlalu membatasi jenis makanan disebut sebagai restrictive eating pattern, dan sering kali menjadi pintu masuk gangguan makan seperti anoreksia atau orthorexia---yakni obsesi berlebihan terhadap makanan sehat 


Buah Saja Tak Cukup untuk Hidup


Memang benar, buah mengandung banyak zat gizi penting seperti vitamin C, serat, kalium, dan antioksidan. Tapi tubuh manusia tidak diciptakan untuk hidup dari buah saja. Menurut penelitian dari National Institutes of Health (NIH), tubuh membutuhkan setidaknya makronutrien lengkap---karbohidrat, protein, dan lemak---serta mikronutrien esensial seperti vitamin B12, kalsium, zat besi, dan vitamin D untuk menjaga fungsi organ dan sistem kekebalan tubuh tetap optimal 


Buah memang kaya karbohidrat alami, tetapi hampir tidak memiliki protein dan lemak esensial. Dilansir dilaman Verywell Fit, Kekurangan dua zat ini menyebabkan tubuh kehilangan massa otot, hormon terganggu, bahkan fungsi jantung melemah. Kekurangan vitamin B12 dapat memicu anemia megaloblastik dan kerusakan saraf permanen. Kekurangan kalsium dan vitamin D berujung pada osteoporosis dan risiko patah tulang.


Dalam jangka panjang, pola makan seperti ini menyebabkan tubuh "memakan dirinya sendiri"---otot dipecah untuk energi, fungsi organ menurun, dan sistem kekebalan tubuh melemah. Itulah yang dialami Karolina; idealisme hidup sehat justru berakhir dengan kematian akibat kelaparan sistemik.


Ketika Gula Alami Jadi Bahaya Terselubung


Selain kekurangan nutrisi, diet buah ekstrem juga memicu lonjakan kadar gula darah yang tidak sehat. Buah kaya akan fruktosa---gula alami yang jika dikonsumsi berlebihan dapat membebani hati dan menyebabkan resistensi insulin. Studi oleh Harvard Health menunjukkan bahwa konsumsi fruktosa berlebih, meskipun dari buah, tetap berisiko meningkatkan kadar trigliserida dan memicu gangguan metabolik pada jangka panjang 


Bagi orang yang memiliki riwayat diabetes atau sindrom metabolik, diet ini bisa memperburuk kondisi. Ditambah lagi, keasaman buah (seperti jeruk dan nanas) merusak enamel gigi, menyebabkan nyeri dan gigi rapuh jika dikonsumsi tanpa pengawasan dokter gigi 


Peran Psikologis yang Sering Terabaikan


Ahli gizi menyebut, banyak pengikut diet ekstrem memiliki dorongan psikologis tertentu. Mereka tidak sekadar ingin sehat, tetapi juga mencari kendali penuh atas tubuhnya. Namun, kendali itu sering berubah menjadi obsesi. Dalam kasus Karolina, laporan media menyebutkan ia memiliki riwayat anoreksia sejak remaja, yang kemudian diperparah dengan pandangan ideal bahwa semakin sedikit makanan berarti semakin "murni" hidupnya.


Psikolog nutrisi seperti dilansir dilaman The Conversation menegaskan, diet ekstrem sering kali menjadi pelarian emosional atau bentuk kontrol diri yang salah arah. Ketika tubuh menolak asupan penting, tetapi pikiran menolak bantuan, saat itulah bahaya terbesar muncul


Pelajaran dari Tragedi Karolina


Kematian Karolina bukan sekadar kisah individu, tapi refleksi dari kecenderungan masyarakat modern yang mudah mempercayai tren tanpa dasar ilmiah. "Natural" tidak selalu berarti "sehat", dan "vegan" tidak otomatis "aman". Pola makan yang sehat harus seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuh masing-masing.


Menurut World Health Organization (WHO), pola makan ideal adalah yang mengandung beragam sumber makanan: biji-bijian utuh, protein nabati dan hewani, sayuran, buah-buahan, serta lemak sehat dalam proporsi seimbang. Diet apapun yang menghilangkan seluruh kelompok makanan tanpa alasan medis jelas berpotensi berbahaya 


Jalan Tengah: Hidup Sehat Tanpa Ekstrem


Bagi kamu yang ingin lebih banyak mengonsumsi buah, hal itu tetap bisa dilakukan dengan aman. Kuncinya ada pada proporsi dan variasi. Pastikan kamu tetap mengonsumsi sumber protein (seperti tempe, tahu, atau telur), lemak sehat (dari alpukat, ikan, atau biji-bijian), dan karbohidrat kompleks (seperti nasi merah atau kentang).


Selain itu, jangan abaikan pemeriksaan kesehatan rutin---cek kadar hemoglobin, vitamin B12, kalsium, dan fungsi hati. Bila ingin menjalani pola makan khusus, lakukan di bawah bimbingan ahli gizi terdaftar agar kebutuhan gizi tetap terpenuhi.


Belajar dari Kisah Karolina


Kisah Karolina mengingatkan kita bahwa kesehatan sejati bukan tentang membatasi, tapi menyeimbangkan. Diet buah ekstrem mungkin tampak suci dan alami di media sosial, namun faktanya, tubuh manusia butuh lebih dari sekadar buah untuk bertahan hidup.


Hidup sehat bukan tentang menjadi ekstrem, tapi tentang mencintai tubuh dengan memberi apa yang benar-benar ia butuhkan --- nutrisi yang lengkap, pikiran yang tenang, dan keseimbangan yang realistis.

×