El Nino diprediksi bakal mencapai puncaknya mulai Agustus.
Fenomena iklim pemicu turunnya curah hujan itu mulai muncul dalam kondisi
lemah. Meski begitu, hujan diperkirakan masih menyapa RI.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Dwikorita Karnawati sebelumnya mengungkap puncak El Nino akan terjadi mulai
Agustus hingga September.
"Tadi kami bersama Bapak Presiden dan Bapak Wakil
Presiden, Bapak Menko dan beberapa menteri membahas tentang antisipasi dan
kesiapan dalam menghadapi ancaman El Nino yang diprediksi puncaknya akan
terjadi di bulan Agustus-September," kata dia, usai mengikuti rapat di
Istana Kepresidenan membahas kesiapan menghadapi ancaman El Nino, tengah Juli.
"Dan El Nino ini intensitasnya lemah hingga moderat,
sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan,
juga produktivitas pangan atau berdampak terhadap ketahanan pangan,"
lanjutnya.
El Nino merupakan fenomena pemanasan muka air laut di
Samudera Pasifik yang berdampak pada penurunan curah hujan global, termasuk di
Indonesia.
BMKG sempat mengungkap potensi kemarau kering imbas
kemunculan El Nino. Terlebih, ada potensi kebangkitan fenomena sejenis dari
Samudera Hindia berupa Indian Ocean Dipole (IOD) pada periode yang sama.
Masih ada hujan
Menurut Ikhtisar Cuaca Harian BMKG untuk Senin (31/7),
Indeks NINO 3.4 yang mengindikasikan tingkat El Nino berada pada angka +1,0.
"El Nino lemah," kata BMKG.
Indikator El Nino lainnya, Southern Oscillation Index (SOI),
ada pada angka -3,1 alias tidak signifikan. Begitu pula Dipole Mode Index
(DMI), yang menunjukkan tingkat fenomena pemicu curah hujan lainnya, IOD, dalam
kondisi tak signifikan (+0,01).
Pada saat yang sama, sebagian daerah Indonesia diprediksi
masih bakal terdampak hujan pada pekan-pekan awal Agustus.
"Potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat
terdapat di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan,
Kep. Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan
Papua," demikian dikutip dari Prospek Cuaca Seminggu ke Depan Periode 1–7
Agustus di situs BMKG, Senin (31/7).
Dwikorita sebelumnya tetap mewanti-wanti soal potensi
bencana hidrometeorologi seperti banjir saat El Nino sudah tiba. Sebabnya
adalah kondisi geogfrafis Indonesia.
"Meskipun kita masuk musim kemarau kering, tetapi
karena wilayah Indonesia ini dipengaruhi oleh dua samudera dan juga
topografinya yang bergunung-gunung di khatulistiwa, masih tetap ada kemungkinan
satu wilayah mengalami kekeringan, tetangganya mengalami banjir atau bencana
hidrometeorologi," jelas dia.
BMKG pun mengungkap beberapa aktivitas fenomena atmosfer
regional dan lokal yang memengaruhi pertumbuhan awan hujan pekan awal Agustus.
Gelombang atmosfer Rossby Ekuator diprakirakan masih aktif
di sebagian Sumatra bagian selatan, Jawa bagian barat hingga tengah, Kalimantan
bagian selatan, Sulawesi bagian selatan, Maluku, dan Papua.
"Faktor-faktor tersebut mendukung potensi pertumbuhan
awan hujan di wilayah tersebut," kata BMKG.
Ada pula pemicu hujan berupa daerah konvergensi (zona
pertemuan angin dari utara dan selatan) di Laut Andaman, di Perairan barat
Sumatra, dari Kalimantan Timur hingga Malaysia, dari Laut Banda hingga Selat
Makassar, dan dari Papua hingga Papua Barat.
"Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi
pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi tersebut.
Dwikorita juga mengingatkan ancaman gagal panen pada lahan
pertanian tadah hujan imbas fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD)
positif yang mengakibatkan kekeringan. Situasi ini berpotensi mengganggu
ketahanan pangan nasional.
"Pemerintah daerah perlu melakukan aksi mitigasi dan
aksi kesiapsiagaan segera. Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal
panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman," kata
Dwikorita, mengutip laman resmi BMKG.
"Di sektor perikanan, perubahan suhu laut dan pola arus
selama El Nino dan IOD positif yang mendingin, biasanya justru berpotensi
meningkatkan tangkapan ikan. Peluang dari kondisi ini harus dimanfaatkan karena
dapat mendukung ketahanan pangan nasional," lanjut dia.
Ia menjelaskan fenomena El Nino dan IOD positif saling
menguatkan sehingga membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering
dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.
Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, maka pada
musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada
hujan sama sekali.
Dwikorita memprediksi puncak kemarau kering ini akan terjadi
pada Agustus hingga awal September dengan kondisi akan jauh lebih kering
dibandingkan tahun 2020, 2021, dan 2022.
Berdasarkan pengamatan BMKG, indeks El Nino pada bulan Juli
ini mencapai 1,01 dengan level moderat, sementara IOD sudah memasuki level
indeks positif.
Infografis Mengenal El Nino dan La Nina (Foto: CNN
Indonesia/Fajrian)
Sebelumnya, pada Juni hingga dasarian 1 bulan Juli, El Nino
masih dalam level lemah sehingga dampaknya belum dirasakan.
Setelah itu, dalam waktu yang bersamaan, El Nino dan IOD
positif yang bersifat global dan skala waktu kejadiannya panjang dalam hitungan
beberapa bulan terjadi dalam waktu bersamaan.
"Dalam rentang waktu tersebut sebagian wilayah
Indonesia masih ada yang diguyur hujan akibat adanya dinamika atmosfer regional
yang bersifat singkat sehingga pengaruh El Nino belum dirasakan secara
signifikan," jelas dia.
Plt Deputi Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan
menyatakan kondisi kekeringan ini juga berpotensi menyebabkan kebakaran hutan
dan lahan (karhutla).
Jika tidak terkendali, itu dapat menimbulkan krisis kabut
asap yang berdampak terhadap kualitas lingkungan, ekonomi, sosial, hingga
kesehatan masyarakat.
"Belum lagi, di musim kemarau, udara akan menjadi lebih
kering dan banyak debu sehingga juga sangat rentan terhadap penyebaran
penyakit," kata Ardhasena.
Ia juga mengingatkan agar seluruh pihak menghemat penggunaan
air di dalam maupun di luar rumah.
Kemarau kering yang melanda akibat El Nino dan IOD positif
diperkirakan akan membuat debit air sungai maupun sumber mata air mengalami
penurunan sehingga dapat berdampak pada ketersediaan dan pasokan air bersih.[SB]