Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Mengenal Rafah, Tempat Perlindungan Terakhir Warga Gaza yang Terancam Diserang Israel

Mei 08, 2024 Last Updated 2024-05-08T04:07:25Z


Pasukan Israel mulai menyerang Rafah di Gaza selatan, Palestina, pada Senin (6/5/2024) pagi waktu setempat.


Tentara telah meningkatkan serangannya terhadap Rafah, yang merupakan tempat perlindungan terakhir bagi sekitar 1,5 juta warga Palestina.


Penduduk Gaza rutin berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari keselamatan, salah satunya Rafah.


Namun, saat ini, seperti diberitakan Aljazeera, wilayah perbatasan Gaza dan Mesir tersebut turut menjadi sasaran militer Israel.


Penduduk sangat takut Rafah bernasib sama seperti Kota Khan Younis, yang lebih dulu mengalami kehancuran total, termasuk rumah tinggal, infrastruktur sipil, dan fasilitas medis dasar.


Pengungsi dan organisasi kemanusiaan yang beroperasi di Rafah timur telah diperintahkan Israel untuk "mengungsi sementara" ke arah Al Mawasi di pesisir selatan Jalur Gaza.


Namun, pada Selasa (7/5/2024) pagi, tiga orang meninggal dunia dalam serangan Israel di sebuah rumah di sebelah barat Rafah.


Jumlah tersebut menambah sedikitnya 12 orang lainnya yang dinyatakan meninggal dalam serangan terpisah Senin malam di kota tersebut.


Menjadi tempat perlindungan terakhir warga Gaza yang kini diserang Israel, bagaimana sejarah Rafah?


Mengenal Rafah


Dilansir dari laman Britannica, Rafah adalah kota di sepanjang perbatasan Jalur Gaza, Palestina, dan Mesir.


Selama sebagian besar abad ke-20 dan ke-21, Rafah terbelah menjadi separuh bagian timur di wilayah Gaza, serta setengah di bagian barat berada di wilayah Mesir.


Kota Rafah yang berbatasan langsung dengan Laut Mediterania merupakan ibu kota Provinsi Rafah di Jalur Gaza.


Terletak di ujung selatan Gaza, Kota Rafah adalah salah satu dari tiga kota besar di wilayah ini. Dua kota besar lainnya, yakni Gaza City di utara dan Khan Younis di bagian tengah.


Berdasarkan Badan Statistik Palestina, penduduk Kota Rafah berjumlah 191.000 jiwa dari total 260.000 orang di Provinsi Rafah pada 2021.


Tempat ini merupakan satu-satunya perbatasan yang memungkinkan penduduk keluar masuk Gaza tanpa kendali Israel.


Warga Gaza yang mengungsi akibat bombardir Israel usai serangan Hamas pada 7 Oktober lalu memadati Rafah sepanjang akhir 2023 hingga kini.


Mereka, warga sipil, menganggap kota tersebut menjadi tempat perlindungan terakhir dari serangan Israel.


Di sisi lain, pihak Israel menganggap Kota Rafah sebagai benteng terakhir dari pasukan Hamas.


Sejarah Rafah sebagai jalur penyeberangan


Sejarah Rafah tak lepas dari Gaza, wilayah Palestina yang bersejarah sebelum pembentukan Israel pada 1948.


Saat itu, lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang disebut sebagai "Nakba".


Dilansir dari NPR, Mesir merebut Gaza selama perang Arab-Israel pada 1948. Akibatnya, selama waktu tersebut, tidak ada perbatasan di Kota Rafah.


Dalam Perang Enam Hari pada 1967, Semenanjung Sinai di Mesir, tempat Rafah berada, diinvasi oleh Israel.


Semenanjung Sinai kemudian dikembalikan ke Mesir setelah Perjanjian Camp David pada 1979.


Perjanjian antara Israel dan Mesir tersebut berujung pada kesepakatan penarikan tentara terakhir Israel pada 1982.


Perjanjian damai yang sama juga membuat Israel membuka penyeberangan di Kota Rafah untuk lalu lintas warga dari Gaza ke Mesir.


Pergerakan penduduk yang melintasi Rafah pun tetap berada dalam kendali Israel dari 1982 hingga 2005.


Namun, terhitung sejak November 2005, Rafah yang menjadi jalur penyeberangan beralih berada di bawah kendali Mesir, Otoritas Palestina, dan Uni Eropa.


Ini kali pertama Palestina memperoleh kendali parsial atas salah satu perbatasan internasional miliknya.


Terowongan Rafah selamatkan penduduk saat blokade


Rafah sendiri terbilang kota yang makmur di Jalur Gaza karena adanya aktivitas perdagangan dengan Mesir.


Sebagian besar penduduk kota bekerja sebagai pedagang berkat peluang besar di sektor perdagangan.


Sementara itu, banyak pula penduduk Kota Rafah yang bekerja sebagai nelayan dan petani.


Setelah Hamas menguasai Gaza pada Juni 2007, Uni Eropa memutuskan untuk menarik kendali atas Rafah.


Sayangnya, blokade bersama Israel dan Mesir selanjutnya, serta keputusan untuk menutup penyeberangan Rafah, secara efektif memblokir Jalur Gaza dari semua sisi.


Sejak itu, penyeberangan orang melalui Rafah hanya sesekali dibuka untuk warga Palestina yang menetap di Gaza.


Guna menghindari blokade ekonomi oleh Israel, ratusan terowongan di bawah perbatasan Rafah dibangun, sehingga memungkinkan segala jenis barang masuk ke Jalur Gaza.


Pada 2000-an, dua bagian Kota Rafah tersebut dihubungkan oleh banyak terowongan rahasia untuk menyelundupkan barang dari Mesir ke Jalur Gaza maupun sebaliknya.


Bahkan, Hamas dicurigai menggunakan terowongan rahasia bawah tanah itu untuk menyelundupkan senjata dari Mesir dan negara lain ke Jalur Gaza.


Meski dulu merupakan pekerjaan rahasia, penyelundupan melalui terowongan ini menjadi penyelamat bagi warga Palestina di Gaza setelah blokade pada 2007.


Mulai dari rokok hingga pakaian telah diselundupkan ke Gaza melalui terowongan yang menghubungkan Mesir dan Palestina.


Setelah berkuasa pada 2014, Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi menghancurkan sebagian besar terowongan rahasia karena dinilai mengancam negaranya.


Kini, saat serangan Israel semakin intensif dan situasi kemanusiaan memburuk, Rafah menjadi titik fokus, baik untuk upaya bantuan maupun bagi mereka yang berharap meninggalkan Gaza.


Sayangnya, lalu lintas bantuan dan orang di wilayah ini masih sangat sulit, ditambah perlengkapan yang kurang memadai untuk operasi bantuan skala besar.


Tidak hanya itu, tank-tank Israel juga mulai mengambil alih penyeberangan Rafah di perbatasan Gaza dan Mesir seiring pesawat tempur yang menggempur rumah-rumah pemukiman pada Senin malam

×