Krisis di Gaza kini memasuki fase baru. Bukan sekadar tembak menembak dan ledakan demi ledakan, tapi juga perekrutan milisi warga Gaza pro Israel Netanyahu dan mempersenjatai mereka.
Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth mengungkapkan bahwa milisi bersenjata di Rafah, di Jalur Gaza selatan, menerima dukungan dan senjata langsung dari Israel, dengan persetujuan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, sebagai bagian dari rencana yang menargetkan Hamas. Laporan menunjukkan bahwa kelompok tersebut terlibat dalam penyelundupan dan pemerasan, tanpa motif nasional Palestina.
Surat kabar tersebut melaporkan bahwa Shin Bet mengawasi operasi rahasia untuk mempersenjatai kelompok Palestina di Rafah, dengan persetujuan langsung dari Netanyahu.
Langkah ini bertujuan untuk menciptakan kekuatan lokal untuk menantang pengaruh Hamas di Jalur Gaza selatan, dengan memperkuat kelompok Badui yang telah lama menentang gerakan tersebut, menurut laporan tersebut.
Menurut Yedioth Ahronoth, puluhan hingga ratusan pistol dan senapan AK-47 ditransfer dari Israel ke kelompok tersebut, sementara kelompok tersebut memelihara hubungan ekonomi yang erat dengan ISIS di Sinai.
Surat kabar itu mengatakan bahwa kelompok ini tidak peduli dengan perjuangan Palestina, tetapi aktif di bidang-bidang seperti penyelundupan, prostitusi, dan pemerasan.
Selama perang yang sedang berlangsung, pejabat keamanan Israel membahas proposal untuk memperkenalkan kembali senjata yang disita di Gaza guna mempersenjatai faksi anti-Hamas, sebuah langkah yang dilaporkan surat kabar tersebut telah dilaksanakan.
Para pejabat mengonfirmasi bahwa inisiatif ini diluncurkan oleh Shin Bet, dengan dukungan tentara Israel, sebagai bagian dari strategi yang bertujuan untuk melemahkan Hamas.
Abu Shabab si biang kerok
Kelompok ini, yang berafiliasi dengan Israel, dipimpin oleh Yasser Abu Shabab, 32 tahun, seorang Badui dari Rafah di Jalur Gaza selatan. Ia memimpin apa yang dikenal sebagai "Pasukan Rakyat," yang mengklaim menyalurkan bantuan dan melindungi warga sipil.
Dulunya seorang tokoh terkenal di dunia kriminal bawah tanah Gaza, dengan dugaan hubungan dengan perdagangan narkoba dan kelompok ekstremis seperti ISIS, Abu Shabab kini telah mengubah citranya sebagai komandan 'Pasukan Rakyat', sebuah unit yang dideklarasikan sendiri yang katanya melindungi warga sipil dan bantuan kemanusiaan dari kekacauan dan cengkeraman Hamas.
Seorang tentara Israel berjalan di terowongan di bawah Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Gaza selatan, tempat yang menurut militer menjadi tempat operasi militan Hamas, Ahad, 8 Juni 2025. - (AP Photo/Ohad Zwigenberg)
Transformasi Abu Shabab dari anggota klan menjadi pemimpin bersenjata berlangsung cepat dan terbuka. Minggu ini, ia merilis pesan video yang mengklaim kelompoknya, yang secara resmi disebut al-Quwat el-Shabeyaa (Pasukan Rakyat atau Popular Forces), telah menguasai Rafah timur. Ia mendesak warga sipil yang mengungsi untuk kembali, menjanjikan makanan, tempat berteduh, dan perlindungan di kamp-kamp darurat yang didirikan di bawah pengawasan militer Israel.
Namun, laporan Palestina dan internasional mengonfirmasi bahwa kelompok tersebut berkoordinasi dengan pendudukan Israel, khususnya di Rafah timur, dekat penyeberangan Kerem Shalom.
Menurut saksi mata, Abu Shabab terlibat dalam penjarahan truk bantuan PBB, meskipun ia membantahnya dan mengklaim ia hanya mengambil makanan untuk keluarganya.
Ini bukan pertama kalinya Israel mendukung kelompok bersenjata yang memusuhi lawan-lawannya. Sebelumnya, Israel memasok senjata kepada kelompok-kelompok di Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki selama perang di Suriah, dan ada juga laporan tentang dukungan Israel terhadap pasukan Kurdi.
Kemarin, seorang anggota Knesset Israel dari partai Likud milik Netanyahu mengindikasikan bahwa Israel mendukung "kelompok Badui" untuk melemahkan kekuasaan Hamas di Jalur Gaza.
Warga Palestina di Jalur Gaza kembali menjadi korban kekerasan saat mengantre bantuan kemanusiaan. Sedikitnya enam orang dilaporkan syahid dan 99 lainnya terluka ketika mereka hendak mengambil bantuan dari pusat distribusi Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung Israel dan Amerika Serikat (AS) di kawasan Tal al-Sultan, Rafah, Senin (9/6/2025).
Menurut kesaksian warga, tembakan tidak hanya berasal dari pasukan Israel, tetapi juga dari kelompok bersenjata yang diduga merupakan warga Palestina sendiri. Namun, sejumlah saksi menyebut kelompok tersebut beroperasi bersama atau di dekat pasukan Israel dan diduga bersekutu dengan mereka.
"Awalnya kami pikir mereka hanya pemuda Palestina yang membantu proses distribusi. Tapi tiba-tiba, mereka menembaki kami," ujar Hisham Saeed Salem kepada BBC Arabic.
Hisham menyebut para pelaku mengenakan pakaian sipil dan menutup wajah mereka rapat-rapat. Seorang warga lainnya, Mohammed Sakout, menyebut beberapa orang tewas tertembak tepat di belakangnya.
"Beberapa pemuda ditembak dan tewas tepat di belakang saya. Saya nyaris lolos dari kematian - beberapa peluru hanya beberapa inci dari kepala saya," ucap dia.
Sementara itu, korban luka berat yang dirawat di Rumah Sakit Nasser, Mohammed Kabaga, mengatakan kelompok bersenjata bertopeng yang awalnya mengatur antrean tiba-tiba mulai menembaki warga.
"Kami mengantre dan tiba-tiba mereka mulai menembaki kami. Saat saya berdiri, saya terkejut ketika sebuah peluru mengenai saya, saya pusing dan jatuh," kata dia.
Militer Israel menyatakan tengah menyelidiki insiden tersebut. Namun dalam pernyataannya, GHF mengklaim bahwa pusat distribusi bantuan mereka di Tal al-Sultan pada hari itu sedang tidak beroperasi.
"Distribusi bantuan hanya dilakukan di dua lokasi lain, dan berlangsung tanpa insiden," ujar juru bicara GHF.
Namun, unggahan Facebook GHF pada Senin sore menyebut pusat Tal al-Sultan ditutup karena "kekacauan massa".
Sejak GHF memulai distribusi bantuan pada 26 Mei lalu, insiden berdarah telah terjadi hampir setiap hari di sekitar empat pusat distribusi mereka. Puluhan warga Palestina dilaporkan menjadi korban, sebagian tewas saat mencoba mendekati lokasi bantuan yang terletak di area militer Israel.
Dalam beberapa kasus sebelumnya, tentara Israel disebut menembaki warga yang mendekati lokasi. Militer Israel berdalih mereka hanya menargetkan “tersangka” yang mengabaikan tembakan peringatan.
Kontroversi mengiringi kehadiran GHF di Gaza. Yayasan ini menggunakan kontraktor keamanan swasta asal AS dan beroperasi di luar sistem PBB. Sejumlah lembaga kemanusiaan menolak bekerja sama dengan GHF karena dinilai melanggar prinsip netralitas dan independensi bantuan kemanusiaan.
PBB memperingatkan bahwa lebih dari dua juta penduduk Gaza berada dalam ancaman kelaparan ekstrem akibat blokade Israel yang berlangsung selama hampir tiga bulan.
Militer Israel melancarkan agresi besar-besaran ke Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan menyandera ratusan lainnya. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 54 ribu warga Palestina telah gugur sejak saat itu.