Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Mobil Listrik, Hemat atau Hanya Pindah Pos Pengeluaran?

Juli 14, 2025 Last Updated 2025-07-14T08:53:40Z


Mobil listrik sering diposisikan sebagai solusi masa depan: ramah lingkungan, minim perawatan, dan tentu saja---lebih hemat. Banyak yang menggaungkan bahwa mobil listrik tak perlu ganti oli, bebas pajak, dan biaya operasionalnya lebih rendah daripada mobil bensin. 


Namun, apakah benar penghematan itu terasa nyata dalam penggunaan sehari-hari? Atau justru hanya terjadi pergeseran jenis pengeluaran---dari pom bensin ke charging station, dari ganti oli ke ganti software, dari bengkel umum ke diler resmi? 


Penulis akan mengajak Anda menyelami realita di balik narasi efisiensi mobil listrik---untuk melihat apakah ia benar-benar menghemat, atau hanya memindahkan beban biaya ke pos yang berbeda. 


Biaya Operasional: Listrik vs Bensin


Salah satu alasan utama orang beralih ke mobil listrik adalah karena narasi besar soal penghematan. Katanya, cukup cas di rumah dengan listrik yang lebih murah daripada beli bensin, dan sudah bisa menjelajah tanpa harus mampir ke pom bensin. 


Jika dihitung kasar, mengisi baterai mobil listrik di rumah memang terasa jauh lebih murah. Rata-rata hanya perlu merogoh kocek antara tiga puluh hingga tujuh puluh ribu rupiah untuk satu kali isi penuh, tergantung pada kapasitas baterai dan tarif listrik rumah tangga yang dikenakan.


Namun di balik angka-angka itu, realitas di lapangan tidak sesederhana teori. Tak semua rumah punya daya listrik yang cukup besar untuk mendukung pengisian cepat. 


Banyak pengguna akhirnya harus menaikkan daya, yang tentu berdampak pada tagihan bulanan. Belum lagi jika terpaksa mengisi daya di SPKLU atau stasiun pengisian umum. 


Meskipun lebih cepat, tarifnya bisa mencapai seratus ribu rupiah bahkan lebih, ditambah biaya tambahan seperti parkir atau durasi penggunaan alat. Dalam beberapa kasus, pengeluaran ini bisa mendekati---bahkan menyaingi---biaya isi bensin mobil konvensional.


Kondisi geografis juga memainkan peran penting. Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, pengisian daya cukup mudah karena infrastruktur SPKLU sudah mulai merata. Tapi di luar kota besar, banyak pengguna harus mengandalkan listrik rumah, yang mungkin tidak selalu tersedia dalam kapasitas memadai. 


Ketika mobil digunakan untuk perjalanan jauh, kekhawatiran soal kehabisan daya---atau yang kerap disebut "range anxiety"---jadi momok tersendiri. Dalam kondisi darurat seperti itu, bisa saja pengguna akhirnya harus mencari pengisian dengan harga mahal atau bahkan menyewa mobil lain untuk menggantikan.


Selain biaya langsung, ada juga biaya tak terlihat: waktu. Mengisi daya di rumah bisa memakan waktu antara enam hingga dua belas jam, tergantung jenis charger dan daya listrik. 


Fast charging memang bisa memangkas waktu hingga hanya tiga puluh menit, tapi di sisi lain tidak selalu tersedia dan bisa membuat antre panjang, terutama di akhir pekan. 


Bagi mereka yang mobilitasnya tinggi, waktu tunggu ini bisa jadi pengorbanan besar yang secara tidak langsung menjadi beban tersendiri.


Jadi, meskipun dalam banyak skenario biaya operasional mobil listrik tampak lebih murah, penghematan itu tidak berlaku merata untuk semua pengguna. Lokasi, gaya hidup, dan infrastruktur menjadi faktor penentu yang signifikan. 


Dalam beberapa kasus, yang terjadi bukanlah pengurangan pengeluaran, melainkan pergeseran jenis biaya dari tangki bensin ke meteran listrik---atau bahkan ke antrean panjang di SPKLU.


Servis dan Perawatan: Simpel Tapi Tidak Nol


Salah satu daya tarik utama mobil listrik adalah janji perawatan yang lebih simpel. Tanpa mesin pembakaran internal, pemilik tak perlu lagi memikirkan urusan ganti oli, filter udara, atau servis rutin yang sering menjadi agenda wajib pemilik mobil bensin. 


Banyak yang membayangkan memiliki mobil listrik seperti memiliki smartphone raksasa: cukup dicas, dan jalan lagi. Tapi dalam praktiknya, meski perawatan mobil listrik memang lebih sederhana, bukan berarti benar-benar bebas dari biaya dan kerepotan.


Perlu dipahami bahwa mobil listrik tetap memiliki komponen mekanis seperti ban, rem, suspensi, dan sistem pendingin udara yang tetap perlu dirawat secara berkala. 


Bahkan, karena bobot mobil listrik umumnya lebih berat dibanding mobil konvensional, komponen seperti rem dan ban bisa lebih cepat aus jika tidak dikendarai dengan teknik yang tepat. Beberapa mobil listrik memang dilengkapi dengan sistem pengereman regeneratif yang memperlambat keausan kampas rem, tapi tetap saja tidak membuatnya abadi.


Selain itu, servis berkala tetap direkomendasikan oleh pabrikan untuk memeriksa kondisi baterai, sistem kelistrikan, serta pembaruan perangkat lunak (software updates). 


Hal ini mengharuskan pengguna datang ke bengkel resmi, karena bengkel umum saat ini masih sangat terbatas kemampuannya dalam menangani kendaraan listrik. Akibatnya, pilihan servis menjadi lebih sempit dan, dalam beberapa kasus, biaya bisa lebih tinggi karena keterbatasan kompetisi dan akses.


Ada pula aspek yang belum banyak dibicarakan: perangkat lunak yang terus diperbarui. Pada mobil listrik modern, pembaruan software bukan sekadar soal fitur tambahan, melainkan bisa berdampak pada performa, efisiensi baterai, bahkan sistem keamanan. 


Beberapa pembaruan bersifat gratis, tapi ada juga yang dikenakan biaya atau memerlukan langganan tertentu. Ini menciptakan jenis pengeluaran baru yang sebelumnya tidak ada pada mobil bensin.


Dan tentu saja, jika terjadi kerusakan atau masalah teknis yang berkaitan dengan sistem baterai atau motor listrik, biaya perbaikannya bisa jauh lebih mahal daripada perbaikan mobil biasa. Meskipun umumnya komponen utama seperti baterai dilindungi garansi panjang (antara 5--8 tahun), begitu masa garansi habis, biaya penggantiannya bisa menjadi beban yang tidak kecil.


Dengan semua pertimbangan ini, memang benar bahwa mobil listrik menyederhanakan proses perawatan. Tapi, menganggapnya bebas servis sepenuhnya adalah ilusi. 


Yang terjadi bukanlah penghapusan kebutuhan servis, melainkan perubahan bentuk dan fokus servis itu sendiri. Lebih digital, lebih spesifik, dan kadang---lebih mahal.


Biaya Tersembunyi dan Jangka Panjang


Di balik klaim efisiensi dan kemudahan mobil listrik, tersembunyi sejumlah biaya yang baru akan terasa setelah beberapa tahun pemakaian. Ini bukan biaya yang muncul di bulan pertama atau bahkan tahun pertama, tapi justru biaya jangka panjang yang menentukan apakah sebuah mobil listrik benar-benar lebih hemat atau justru berbalik menjadi beban finansial baru.


Salah satu komponen termahal dalam mobil listrik adalah baterainya. Meski sebagian besar produsen memberi garansi antara lima hingga delapan tahun, tidak ada jaminan bahwa setelah masa itu baterai masih dalam kondisi optimal. 


Penurunan kapasitas atau degradasi baterai adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Jika kapasitas baterai turun hingga di bawah 70%, jarak tempuh pun ikut menyusut drastis. 


Dan saat itu tiba, pilihan yang tersedia tidak banyak---antara bertahan dengan performa yang menurun atau mengganti baterai dengan biaya yang bisa mencapai sepertiga hingga separuh harga mobil baru.


Lalu ada soal nilai jual kembali. Karena teknologi mobil listrik berkembang sangat cepat, model-model baru dengan fitur dan jangkauan yang lebih baik terus bermunculan. 


Ini membuat mobil listrik versi awal cepat tertinggal dan bisa mengalami depresiasi nilai yang lebih cepat dibanding mobil bensin. Apalagi jika mobil tersebut sudah melewati masa garansi baterai---pembeli potensial akan ragu, karena khawatir harus menanggung biaya penggantian baterai dalam waktu dekat.


Selain itu, banyak fitur mobil listrik yang sangat bergantung pada sistem digital dan koneksi ke server pabrikan. Jika dukungan perangkat lunak dihentikan atau sistem operasi tidak lagi diperbarui, performa mobil bisa terpengaruh. 


Bayangkan punya mobil yang secara fisik masih bagus, tapi tidak bisa menerima pembaruan software karena modelnya sudah dianggap usang. 


Dalam era digital ini, ketergantungan pada sistem tertutup seperti itu menimbulkan risiko baru yang sebelumnya tidak dikenal di dunia otomotif konvensional.


Ada pula biaya tak terduga yang muncul dari perubahan regulasi atau kebijakan pemerintah. Misalnya, insentif pajak yang saat ini dinikmati pengguna mobil listrik tidak selalu berlaku selamanya. 


Jika suatu saat aturan berubah atau insentif dicabut, maka biaya tahunan bisa meningkat drastis. Selain itu, infrastruktur pendukung seperti SPKLU belum tentu berkembang merata, dan di beberapa daerah, pengguna justru harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk membuat sistem charging sendiri di rumah.


Dalam konteks ini, hemat atau tidaknya mobil listrik tidak hanya bisa dinilai dari biaya pengisian daya atau minimnya servis. Yang lebih penting adalah bagaimana biaya-biaya tersembunyi dan risiko jangka panjang dipertimbangkan sejak awal. 


Karena ketika investasi dilakukan untuk jangka waktu lima atau sepuluh tahun, biaya total kepemilikanlah yang seharusnya menjadi ukuran utama---bukan sekadar tagihan listrik bulanan.


Kesimpulan


Mobil listrik telah mencuri perhatian publik sebagai simbol masa depan yang ramah lingkungan dan ekonomis. Di permukaan, ia tampak menawarkan banyak kelebihan: tak perlu ganti oli, pengisian daya yang lebih murah dibandingkan membeli bensin, serta berbagai insentif pajak yang menggiurkan. 


Tapi ketika kita melihat lebih dalam---dari pengalaman pengguna, dari dinamika biaya tersembunyi, hingga prediksi jangka panjang---terbentuklah sebuah kesimpulan yang lebih bernuansa: bahwa penghematan itu nyata, tapi bersyarat.


Apa yang selama ini digaungkan sebagai keunggulan mobil listrik ternyata sangat bergantung pada konteks: di mana mobil digunakan, bagaimana pola mobilitas penggunanya, dan seberapa siap infrastruktur mendukungnya. 


Di kota besar, hemat bisa terasa. Tapi di daerah dengan infrastruktur terbatas, justru bisa memunculkan beban baru. Dan yang sering luput dari perhitungan adalah biaya jangka panjang---penggantian baterai, nilai depresiasi, serta kemungkinan hilangnya insentif di masa depan.


Artinya, beralih ke mobil listrik bukan sekadar soal ikut tren atau demi citra modern, tapi soal keputusan finansial yang perlu dihitung dengan cermat. 


Jika dulu kita menghitung biaya mobil dari harga beli dan ongkos bensin, sekarang kita harus memperhitungkan daya listrik, umur baterai, update software, hingga potensi biaya servis spesialis. Pos pengeluaran memang berpindah, tapi bukan berarti hilang.


Jadi, apakah mobil listrik benar-benar hemat? Jawabannya: ya, bisa jadi lebih hemat, tapi tidak otomatis. Hemat hanya terjadi bila semua variabel mendukung---dan pengguna siap memahami serta mengantisipasi biaya-biaya yang tak selalu terlihat sejak awal. 


Inilah refleksi penting yang perlu dibagikan kepada siapa pun yang sedang mempertimbangkan untuk berpindah ke kendaraan listrik. Karena dalam dunia yang terus berubah, bijak memilih bukan hanya soal harga hari ini, tapi tentang kesiapan menghadapi biaya di hari esok.

×