Konvoi kemanusiaan Global Sumud Flotilla 2025 akhirnya berlayar dari Tunisia menuju Gaza. Tiga puluh tiga kapal, ratusan relawan dari empat puluh empat negara, semua mengikat niat untuk menembus blokade.
Dari Indonesia pun jejak kebaikan ikut berlayar: kapal-kapal hasil donasi rakyat menjadi bagian armada. Namun, justru di sinilah ironi bermula. Kapalnya melaju, tapi relawannya pulang. Sebuah prestasi unik—kita menyumbang armada, tapi awaknya diganti bangsa lain. Dunia boleh bertepuk tangan: inilah solidaritas tanpa syarat, bahkan tanpa kursi di dek kapal sendiri.
Tiga puluh relawan dari negeri ini sudah siap berlayar, sudah mengunci niat, tapi akhirnya hanya bisa mengikat koper pulang. Alasannya strategis, katanya. Tentu, semua alasan bisa disebut strategis kalau sudah tak bisa dijelaskan dengan logika sederhana. Strategis karena mundur, strategis karena dipangkas, strategis karena kursi lebih layak diisi orang lain.
Ironinya indah sekali: kapal-kapal yang lahir dari donasi rakyat Indonesia kini ditumpangi oleh relawan asing. Kita jadi pemilik rumah yang rela kunci pintunya dipinjam, lalu duduk di luar pagar sambil mengucapkan, “Silakan, rumah saya untuk kalian. Saya sendiri cukup menonton dari jauh.”
Barangkali beginilah wajah negeri ini: dermawan, tapi sering tersisih dalam panggungnya sendiri. Kita rajin mengirim kapal, tapi malas memastikan manusianya ikut terhormat berlayar. Dan sejarah pun akan menulis dengan tinta tipis tapi tajam: kapal Indonesia menembus Gaza, tapi bangsa Indonesia hanya tercatat sebagai penyedia logistik—bukan saksi mata.
Padahal Bung Hatta pernah mengingatkan bahwa solidaritas sejati bukan sekadar memberi, melainkan ikut memikul beban bersama. Bung Karno juga menegaskan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menyatakan keadilan untuk bangsa lain.” Sayang, dalam episode ini, keberanian kita lebih fasih diwujudkan lewat kapal kosong daripada langkah kaki yang berlayar.
Dan bukankah pemandangan ini tak jauh berbeda dengan wajah politik kita sendiri? Di dalam negeri, rakyat sering disuguhi retorika besar tentang kedaulatan, tentang peran global, tentang kepemimpinan moral. Kata-kata itu berdiri gagah di podium, tapi ketika saat genting tiba, keputusan-keputusan yang lahir justru lebih sering penuh kompromi—seolah-olah demi “strategi,” padahal sesungguhnya hanyalah kalkulasi citra dan kepentingan jangka pendek. Kita tampak gagah di panggung internasional, namun sering gagap saat harus menepati janji pada rakyat sendiri.
Maka, kalau semua ini disebut solidaritas global, biarlah. Hanya saja, jangan heran bila ada getir yang tersisa: sebab sekali lagi kita menunjukkan bahwa di negeri ini, yang benar-benar berlayar hanyalah benda, sementara manusia yang ingin berlayar justru ditambatkan di dermaga. Dan sebagaimana dalam politik kita sendiri, kapal janji berangkat dengan penuh sorak, tapi rakyatnya masih saja dibiarkan berdiri di tepi pelabuhan, menunggu kapal yang tak pernah kembali.