Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Steve Witkoff Murka! Hamas Tak Terima Proposal Gencatan Senjata AS

Juni 02, 2025 Last Updated 2025-06-02T06:31:14Z

 Asap masih membubung dari reruntuhan Khan Younis ketika suara drone menggema di langit yang memerah. Di sela puing-puing, seorang bocah Palestina menggenggam roti lapuk dengan mata kosong menatap langit—sementara di ruang diplomasi, kata-kata tajam kembali dilontarkan dari Washington.


Utusan Timur Tengah Donald Trump, Steve Witkoff, menyampaikan kecaman keras terhadap tanggapan Hamas atas proposal gencatan senjata Gaza yang didukung oleh Amerika Serikat.


Dalam wawancara dengan Arab News, Witkoff menyebutnya “sama sekali tidak dapat diterima” dan menilai bahwa respon Hamas hanya membawa konflik Gaza mundur ke arah kehancuran yang lebih dalam.


Pernyataan ini muncul setelah Hamas menyatakan kesiapan untuk menukar 10 sandera hidup dan 18 jenazah dengan lebih dari 1.200 tahanan Palestina sebagai bagian dari rencana gencatan senjata 60 hari. Namun, kelompok tersebut menuntut penarikan penuh militer 'Israel' penjajah dari Jalur Gaza, serta aliran bantuan kemanusiaan yang tak terputus—persyaratan yang bertentangan dengan posisi  'Israel' penjajah.


Dalam siaran resminya, Hamas mengklaim bahwa respons mereka bersifat "positif" dan menginginkan gencatan senjata permanen. Mereka juga mengusulkan pembebasan sandera dalam tiga fase, dengan distribusi bantuan diperluas ke area yang lebih luas. Seorang pejabat Palestina menyebutkan bahwa Hamas menuntut jaminan bahwa kesepakatan ini bukan sekadar jeda perang, melainkan jalan menuju perdamaian jangka panjang.


Namun, 'Israel' penjajah tetap bersikeras pada syarat mereka: pembongkaran total kekuatan militer dan politik Hamas, pelucutan senjata, dan pengembalian seluruh 58 sandera yang tersisa.


Kantor PM Benjamin Netanyahu belum merespons pernyataan terbaru Hamas ini. Di sisi lain, Trump sempat menyatakan bahwa kesepakatan sudah “sangat dekat”, dan Gedung Putih mengindikasikan bahwa 'Israel' penjajah menyetujui sebagian besar isi proposal.


Eskalasi dan Krisis Kemanusiaan


Sementara diplomasi berlangsung, militer 'Israel' penjajah kembali menggempur Gaza, termasuk melakukan serangan yang disebut menewaskan Mohammad Sinwar, kepala Hamas Gaza dan adik dari Yahya Sinwar.


Serangan ini terjadi di sebuah rumah sakit di Gaza selatan pada 13 Mei, sebagaimana dikonfirmasi oleh IDF. Hamas sendiri belum memberi klarifikasi atas kematian tersebut.


Sejak operasi militer besar dilanjutkan Maret lalu, serangan udara dan darat menghancurkan wilayah perbatasan Gaza dan memaksa lebih dari 2 juta warga sipil mengungsi ke kantong sempit di sekitar Khan Younis.


Blokade total sejak awal Maret telah menyebabkan krisis kelaparan meluas, mendorong PBB dan komunitas internasional menyuarakan tekanan diplomatik terhadap  'Israel' penjajah.


Pada Sabtu, truk bantuan dari Program Pangan Dunia (WFP) dibajak dan dijarah di tengah kekacauan.


"Setelah hampir 80 hari blokade, orang-orang kelaparan dan tak lagi bisa menunggu," tulis WFP dalam pernyataannya.


Gema Palestina di Eropa


Kain merah-hijau-hitam terangkat tinggi di tengah euforia gol ke lima PSG, sementara layar stadion masih bergetar oleh sorakan penonton. Di sudut lain Eropa, denting palu kebijakan mengetuk meja parlemen Emilia-Romagna, menandai putusnya hubungan resmi dengan pemerintah 'Israel'.


Pemerintah daerah Emilia-Romagna, wilayah makmur di Italia utara, resmi memutus seluruh hubungan institusional dengan 'Israel'. Keputusan ini diumumkan menyusul meningkatnya kemarahan internasional atas aksi militer 'Israel' di Gaza yang disebut oleh banyak pihak sebagai genosida terhadap warga sipil Palestina.


Langkah tegas ini mengikuti keputusan serupa dari wilayah Puglia, menandakan mulai meluasnya aksi protes diplomatik di tingkat daerah di Italia.


Dalam pernyataannya yang dilansir Quds News Network, pejabat Emilia-Romagna menyebut tindakan militer Israel sebagai “tidak dapat dibenarkan” dan menyatakan solidaritas mereka kepada rakyat Palestina yang sedang mengalami krisis kemanusiaan akut di Gaza.


Di Munich, Jerman, aksi solidaritas menggema di tengah sorotan dunia pada final Liga Champions UEFA. Saat Paris Saint-Germain (PSG) melumat Inter Milan 5–0, para pendukung PSG membentangkan spanduk bertuliskan "Stop genocide in Gaza" dan mengibarkan bendera Palestina.


Bahkan, ketika pemain muda Senny Mayulu mencetak gol kelima PSG, bendera Palestina berkibar jelas dari tribun, menjadi simbol perlawanan sipil di tengah kemewahan stadion Eropa.


Di sisi lain, laporan demi laporan tentang serangan 'Israel' di Gaza terus mengalir. Pada Sabtu malam, Dr. Hamdi Najjar, suami dari dokter anak terkemuka Dr. Alaa Najjar, meninggal dunia akibat luka berat setelah serangan udara 'Israel' yang menewaskan sembilan anaknya. Ia terluka saat rumah mereka di Khan Younis dihantam roket. Dr. Alaa saat itu sedang bertugas di Rumah Sakit Nasser, tanpa mengetahui rumahnya menjadi sasaran.


Sejumlah warga Palestina lainnya juga tewas dalam serangan udara 'Israel' yang menargetkan mobil sipil di timur Khan Younis dan sebuah rumah di daerah Al-Shanti, barat laut Gaza City. Bahkan wilayah Masafer Yatta di Tepi Barat pun kini dinyatakan sebagai zona militer tertutup, menyusul pendudukan gua oleh milisi pemukim ilegal 'Israel' yang melakukan serangan terhadap warga Palestina.


Krisis kemanusiaan semakin memburuk. Di Rafah, seorang pria Palestina mengungkapkan keputusasaan setelah adiknya ditembak saat mencoba mengambil bantuan makanan dari pusat distribusi AS.


“Kenapa mereka suruh kami ke sana, lalu menembaki kami?” ucapnya dengan suara bergetar dalam video singkat yang beredar.


Tak lama setelahnya, dua warga lainnya tewas saat mengantre bantuan makanan di Khan Younis. Bahkan sebuah keluarga Palestina diserang saat mencoba mengambil tong air dari rumahnya yang terbengkalai.


Rentetan serangan tidak berhenti. Tank-tank 'Israel' membombardir wilayah Al-Manara dan sekitar Rumah Sakit Eropa Gaza. Di pagi hari, sebuah gedung di Madinat Hamad luluh lantak oleh serangan udara. Beberapa jam kemudian, rumah milik keluarga Al-Najjar di Jabalia juga dihantam.


Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, saat dunia menyaksikan, namun hanya sedikit yang bertindak.

×