Suhu politik dan birokrasi di Tanah Air kembali memanas. Setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap adanya dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di bank hingga Rp234 triliun, kini giliran Komisi II DPR RI turun tangan.
Komisi II DPR berencana memanggil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta sejumlah pemda untuk memberikan klarifikasi terbuka terkait temuan fantastis tersebut. Langkah ini diambil karena DPR menilai, dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru “menginap” di rekening bank tanpa kejelasan pemanfaatan.
DPR Minta Klarifikasi: “Ini Uang Rakyat, Bukan Simpanan Pribadi”
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menegaskan, pihaknya ingin mendengar langsung penjelasan dari Kemendagri sebagai pembina daerah, sekaligus meminta pertanggungjawaban dari para kepala daerah yang disebut-sebut menimbun dana publik.
“Perlu dipanggil untuk klarifikasi kepada Kemendagri terkait pengawasan dan pembinaan terhadap pemda, sekaligus memanggil pemda yang dananya banyak diparkir di bank,” ujar Khozin, Kamis (23/10/2025).
Khozin menilai, masyarakat berhak tahu alasan di balik dana publik sebesar itu tidak terserap. Ia menduga dana tersebut sengaja ditempatkan di bank untuk meraih bunga atau menunggu waktu penyerapan anggaran menjelang akhir tahun.
“Kalau dana APBD sengaja diparkir, ini serius. Karena bisa mengganggu pelayanan publik dan menahan laju ekonomi daerah,” tegas politikus PKB itu.
Kritik terhadap Pola Belanja Akhir Tahun
Khozin juga menyoroti kebiasaan klasik pemerintah daerah yang kerap mengebut realisasi anggaran di akhir tahun. Pola ini dinilai mengurangi efektivitas program dan menyebabkan inefisiensi penggunaan uang rakyat.
Menurutnya, Kemendagri harus memperketat pengawasan dan berani memberikan sanksi administratif bila ditemukan pelanggaran tata kelola keuangan. Ia pun mengutip dasar hukum seperti Pasal 68 UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai landasan penegakan disiplin anggaran.
Purbaya: “Masalahnya Bukan Uang, Tapi Kecepatan Eksekusi”
Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa persoalan utama bukan pada kurangnya dana, melainkan lambannya realisasi belanja daerah.
Dalam Forum Pengendalian Inflasi Daerah 2025, Purbaya menyebut dana mengendap di bank hingga September 2025 mencapai Rp234 triliun, sementara realisasi transfer ke daerah mencapai Rp644,9 triliun.
“Ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi. Dana sudah tersedia, segera gunakan, jangan tunggu akhir tahun,” tegas Purbaya di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Pemda Membantah: “Angka Pusat Tak Akurat”
Namun, beberapa kepala daerah membantah pernyataan Menkeu tersebut.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan tidak ada dana Rp4,1 triliun yang disimpan dalam bentuk deposito.
“Yang ada hanya Rp2,4 triliun di rekening giro untuk kegiatan Pemprov Jabar,” jelasnya di Kantor Bank Indonesia, Rabu (22/10/2025).
Hal serupa disampaikan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang menyebut saldo Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Sumut hanya Rp990 miliar, bukan Rp3,1 triliun seperti klaim Kemenkeu.
“Saldo itu untuk pembayaran kegiatan dan perubahan APBD, bukan dana tidur,” ujarnya di Medan (21/10/2025).
Arah Polemik: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kontroversi soal dana “mengendap” ini kini menjadi episentrum baru hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Kemenkeu menekan percepatan belanja untuk mendorong ekonomi, sementara pemda menilai tudingan “menimbun dana” terlalu disederhanakan.
Komisi II DPR menegaskan akan membuka fakta secara terang-benderang melalui pemanggilan resmi terhadap Kemendagri dan pemda terkait.
Pertanyaan besar pun menggema di publik:
Apakah ratusan triliun rupiah uang rakyat itu benar-benar tersimpan karena kelalaian birokrasi, atau ada masalah sistemik dalam tata kelola anggaran negara yang harus segera dibenahi?

